Menempatkan Perempuan sebagai Subyek dalam Isu Pernikahan Dini
Salah satu isu kontroversial mengenai Hukum Keluarga Islam modern adalah terkait usia pernikahan; apakah perlu dibatasi atau tidak. Di hampir seluruh negara-negara Islam, pernikahan di bawah umur sudah dilarang dalam undang-undang resmi yang diterapkan. Karena itu, tren Hukum Islam di mayoritas negara-negara muslim bisa dikatakan lebih cenderung memberi batasan usia bagi subjek akad pernikahan, baik laki-laki maupun perempuan. Memang batasan ini masih berbeda-beda, antara satu negara dengan negara yang lain, mulai dari usia 12 tahun seperti umat Islam di Nigeria dan Sri Lanka, sampai batasan 21 tahun seperti umat Islam di Fiji dan Gambia (WLUML, 2007: 62-69).
Secara umum di berbagai negara Muslim, batasan usia bagi perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, berkisar antara 15 dan 16 tahun untuk perempuan tetapi 18 dan 19 tahun untuk laki-laki. Berbeda dari yang membedakan, Yordania dan Maroko membuat batasan yang sama baik untuk laki-laki maupun perempuan, yaitu 18 tahun. Aljazair juga demikian, tetapi lebih tinggi, yaitu 19 tahun. Memang masih ada negara yang menggunakan batasan yang ambigu, yaitu pubertas bukan dengan batasan usia tertentu. Yaitu umat Islam di Filipina yang tetap menggunakan batasan pubertas sebagai awal kapasitas seseorang menikah, baik laki-laki maupun perempuan. Negara bagian Perak bahkan tidak memberi batasan usia sama sekali, sehingga pernikahan dini atau di bawah umur bisa dimungkinkan (WLUML, hal. 62-69).
Baik tren hukum Islam modern yang memberi batasan usia pernikahan, maupun pengecualian di beberapa negara yang tidak secara tegas memberi batasan, bersumber pada warisan hukum Fiqh Islam yang memang sudah membuka ragam pandangan. Kematangan berpikir dan kedewasaan (ar-rushd wa al-bulûgh) dalam fiqh adalah syarat sah bagi subjek akad pernikahan, baik laki-laki maupun perempuan. Tetapi ulama fiqh kemudian berbeda pendapat mengenai penentuan tanda-tanda kedewasaan tersebut; apakah dengan pubertas seperti menstruasi dan mimpi basah, atau dengan usia tertentu seperti 15 atau 18 tahun (Kharofa, 2004: 55-62). Ulama fiqh juga berbeda pendapat, apakah yang berusia sebelum matang dan dewasa boleh dinikahkan orang tuanya atau sama sekali tidak boleh sebelum mencapai usia dewasa (Muhammad, 2001: 70-74).
Perbedaan pandangan fiqh ini, diantaranya didasarkan pada ayat ke-6 dari Surat an-Nisa dan ayat ke-152 dari Surat al-An’am yang mengharuskan kedewasaan sebagai syarat akad dan transaksi dalam hal apapun (Kharofa, hlm. 57; dan Muhammad, hlm. 71). Tetapi kedua ayat ini, khusus mengenai pernikahan, sering dihadapkan dengan teks-teks Hadis yang menceritakan Aisyah bint Abi Bakr ra. menikah dengan Nabi saw. ketika berusia 6 atau 7 tahun dan hidup bersama dengan Nabi saw. atau berumah tangga ketika mencapai usia 9 tahun (Muhammad, hlm. 69). Tulisan ini akan membahas bagaimana ulama, baik dalam disiplin fiqh maupun Hadis merespon dan memahami teks-teks Hadits tersebut, dan bagaimana teks-teks ini dipahami pada konteks dan semangat pemberdayaan perempuan Muslim.
Hadits Mengenai Pernikahan Aisyah ra.
Ibn al-Atsîr (w. 606 H/1210 M) dalam Kitabnya Jâmi’ al-Ushûl min Ahâdîts ar-Rasûl (Ensiklopedi Hadits-hadits Nabi saw.), menuturkan teks-teks hadis mengenai usia pernikahan ‘Asiyah ra dengan Nabi saw. Teks-teks Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (w. 256/870), Muslim (w. 261 H/875 M), Abu Dawud (w. 275 H/889 M), dan Nasa’i (w. 303 H/915 M). Ada perbedaan penyebutan usia ‘Aisyah menikah dalam teks-teks ini. Dalam berbagai riwayat disebutkan usia Aisyah menikah adalah enam tahun kemudian hidup bersama ketika berusia sembilan tahun. Riwayat lain, dari Imam Muslim misalnya, menyebutkan tujuh tahun menikah dan sembilan tahun hidup bersama. Tetapi juga ada riwayat dari Imam Nasa’i yang tidak menyebut usia enam atau tujuh, tetapi langsung menyebut usia sembilan tahun ‘Aisyah menikah dan berumah tangga dengan Nabi saw. (Ibn al-Atsir, 1983: juz XII, hlm. 110-112).
Hadits Mengenai Pernikahan Aisyah ra.
Ibn al-Atsîr (w. 606 H/1210 M) dalam Kitabnya Jâmi’ al-Ushûl min Ahâdîts ar-Rasûl (Ensiklopedi Hadits-hadits Nabi saw.), menuturkan teks-teks hadis mengenai usia pernikahan ‘Asiyah ra dengan Nabi saw. Teks-teks Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (w. 256/870), Muslim (w. 261 H/875 M), Abu Dawud (w. 275 H/889 M), dan Nasa’i (w. 303 H/915 M). Ada perbedaan penyebutan usia ‘Aisyah menikah dalam teks-teks ini. Dalam berbagai riwayat disebutkan usia Aisyah menikah adalah enam tahun kemudian hidup bersama ketika berusia sembilan tahun. Riwayat lain, dari Imam Muslim misalnya, menyebutkan tujuh tahun menikah dan sembilan tahun hidup bersama. Tetapi juga ada riwayat dari Imam Nasa’i yang tidak menyebut usia enam atau tujuh, tetapi langsung menyebut usia sembilan tahun ‘Aisyah menikah dan berumah tangga dengan Nabi saw. (Ibn al-Atsir, 1983: juz XII, hlm. 110-112).
Dengan melihat para perawi tersebut di atas, teks Hadis mengenai ‘Aisyah yang menikah, di usia enam, tujuh, atau sembilan tahun adalah sahih. Teks yang mencatat usia enam tahun misalnya, adalah riwayat Imam Bukhari dalam Sahih-nya, kitab tingkatan tertinggi dalam disiplin ilmu Hadis. Bagi mayoritas ulama Hadis, jika suatu hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari saja, atau Imam Muslim saja, sudah cukup untuk memastikan bahwa ia sahih, atau valid (‘Itr, 1985: 254-256). Apalagi jika teks-teks itu diriwayatkan dua Imam besar Bukhari Muslim, dan didukung riwayat dari jalur sanad yang lain, yaitu dari Imam Abud Dawud dan Imam Nasa’i.
Sementara ini belum terdengar ada ulama hadis yang mengkritik kesahihan teks-teks hadis mengenai usia muda ‘Aisyah menikah dengan Nabi saw. Nasiruddin al-Albani (1914-1999), seorang ulama hadis kontemporer yang diangkat sebagai profesor hadis di Universitas Islam Madinah, yang sesekali dengan metode kritik sanad-nya sendiri melemahkan hadis-hadis sahih (Amin, 2009: 71-116), juga memastikan bahwa teks-teks itu sahih. Sekalipun, pensahihan seperti ini, bagi sebagian pakar hadis dianggap pekerjaan sia-sia belaka, karena sudah disahihkan ulama besar seperti Bukhari Muslim (‘Itr, hlm. 254).
Tetapi dalam diskusi online, terutama di blog-blog, dengan menggunakan entri “usia nikah ‘Aisyah”, “pernikahan usia dini”, “pernikahan di bawah umur”, atau “Nabi menikahi anak kecil”, dengan mudah bisa ditemukan berbagai tulisan yang mengkritik kesahihan, atau kevalidan, teks-teks hadis tersebut. Salah satu yang mungkin bisa dikatakan sebagai tulisan yang lebih awal, setidaknya menurut penelusuran penulis, adalah artikel “Was Ayesha A Six-Year Old Bride? The Ancient Myth Exposed” oleh T.O. Shanavas, diterbitkan pertama kali pada tahun 1999 melalui The Minaret. Tulisan-tulisan lain, terutama yang berbahasa Indonesia, hanya mengulang argumentasi Shanavas, termasuk tulisan Syafi’i Antonio dalam bukunya “Muhammad: The Super Leader The Super Manager” (2008: hlm. 302-304).
Dalam tulisan Shanavas, seorang intelektual Muslim keturunan India, ada tiga hal yang menjadi argumentasi utama dalam penolakan hadis usia dini ‘Aisyah menikah. Pertama, mengenai perawi utama yaitu Hisyam bin Urwah, yang meriwayatkan dari ayahnya Urwah bin Zubair, yang mendengar dari bibinya ‘Aisyah bint Abi Bakr ra. Kedua, adanya kontradiksi di antara berbagai riwayat. Baik yang internal, yaitu penyebutan enam, tujah, atau sembilan tahun, maupun eksternal dengan riwayat-riwayat lain terkait sejarah hidup Aisyah disandingkan dengan para sahabat yang lain. Ketiga, kontradiksi konsep pernikahan usia di bawah umur yang dipahami dari teks-teks hadits tersebut, dengan konsep-konsep lain yang cukup fundamental dalam ajaran Islam. Kritik pertama terkait sanad (jalur transmisi), kritik kedua terkait matan (isi hadis), sementara kritik ketiga terkait dengan pemahaman yang digali dari matan.
Dengan merujuk pada buku-buku biografi periwayat Hadis, seperti Tahdzîb at-Tahdzîb karya Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 852 H/1449 M) dan Mîzân al-I’tidâl karya adz-Dzahabi (w. 784 H/1383 M), Hisyam bin ‘Urwah di mata Shanavas dan Antonioa Syafi’i dianggap sebagai periwayat yang tidak bisa dipercaya, terutama untuk hadis-hadis yang disampaikan ketika ia sudah pindah dari Madinah ke Irak di usia 70 tahun. Teks usia dini ‘Aisyah menikah termasuk yang disampaikan di Irak. Hisyam dianggap sudah terlalu tua, pikun, dan kurang kuat hafalannya, untuk meriwayatkan hadis-hadis semasa tinggal di Irak. Karena Hisyam tidak bisa dipercaya, maka gugur semua jalur periwayatan hadis tersebut.
Kritik ini, sekalipun benar tercatat dalam biografi Hisyam, tetapi agak berlebihan jika diterapkan untuk konteks hadis-hadis ‘Aisyah tersebut. Di samping ada penilaian lain yang sebaliknya –yang positif- terhadap pribadi Hisyam, dari para ulama kritikus Hadis, termasuk ketika ia sudah tinggal di Irak. Lebih mendasar lagi, teks-teks hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim. Berarti, kedua Imam ini, mempercayai jalur sanad “Hisyam dari Urwah dari ‘Aisyah”. Dalam jalur sanad Bukhari disebutkan, bahwa ada empat murid Hisyam yang meriwayatkan hadis ‘Aisyah tersebut langsung dari Hisyam. Yaitu Ali bin Mushir al-Kufi, Abu Usamah, Sufyan ats-Tsauri, dan Wuhaib bin Khalid al-Basri (Lihat: al-Bukhâri, 2004: hlm. 456/no. 3894 dan 3896, dan hlm. 622/no. 5133 dan 5134). Dengan demikian, jauh kemungkinan keempat murid Hisyam ini mau meriwayatkan, jika gurunya benar-benar pikun atau terganggu hafalannya.
Imam Muslim dalam Sahih-nya, juga memiliki dua jalur sanad yang lain, selain jalur Hisyam bin Urwah – dari Urwah bin Zubair – dari Aisyah. Yaitu, pertama jalur sanad dari Ma’mar - dari az-Zuhri – dari Urwah bin Zubair – dari Aisyah. Kedua, jalur sanad dari al-A’masy – dari Ibrahim an-Nakha’i– dari al-Aswad – dari Aisyah (‘Abd al-Bâqi, 2002: juz IX, hlm. 176-178). Dengan dua jalur ini, berarti yang mendengar dari Urwah bin Zubair tidak hanya Hisyam tetapi juga az-Zuhri, dan yang mendengar dari Aisyah tidak hanya Urwah tetapi juga al-Aswad. Adz-Dzahabi (w. 784 H/1383 M) sendiri dalam Mîzân al-I’tidâl, sekalipun menyebutkan berbagai kritik ulama atas Hisyam, memuji kemampuan hafalan Hisyam (1995: juz VII, hlm. 85-86).
Argumentasi kedua, adalah soal kontradiksi data-data yang tersedia dalam buku-buku Hadis maupun sejarah. Di riwayat-riwayat Hadits sendiri, ada yang 6 dan 7. Sementara di riwayat-riwayat sejarah, banyak data yang bisa mengindikasikan lebih tua, ada indikasi di usia 12 tahun, 15 tahun, bahkan bisa muncul indikasi bahwa Aisyah ra. menikah di usia 17 dan 18 tahun. Data-data sejarah yang disebutkan oleh Ibn Katsir (w. 774 H/1373 M), ad-Dzahabi, dan Ibn Hajar al-‘Asqallani misalnya, usia Aisyah ra itu lebih muda 10 tahun dari kakaknya Asma bint Abi Bakr ra. Jika Asma wafat pada tahun 73 H di usia 100 tahun, sebagaimana disebut sumber-sumber tersebut, berarti ketika hijrah usia Asma ra. adalah 27 tahun. Pada saat hijrah, usia Aisyah ra dengan demikian, adalah 17 tahun. Yaitu usia dimana Aisyah berumah tangga dengan Nabi Saw.
Argumentasi ketiga, adalah bahwa isi dari teks-teks Hadis Aisyah ra. menikah di usia dini, bertentangan dengan konsep kedewasaan yang menjadi syarat utama kapasitas seseorang menjadi subyek hukum. Konsep ini ditegaskan dalam berbagai ayat Alquran dan teks-teks Hadis Nabi saw., dalam berbagai teks Hadis, pernah menolak sahabat yang masih berumur di bawah 15 tahun untuk ikut berperang. Sementara Aisyah ra. dalam berbagai riwayat Hadis dan catatan sejarah, terlibat dalam perang Badr dan Uhud yang terjadi pada awal-awal sejarah hijrah umat Islam ke Madinah.
Dengan ketiga argumentasi tersebut, Shanavas menganggap cerita Aisyah ra menikah di usia dini adalah mitos yang tidak berdasar dan tidak perlu dipercayai. Ia menolak hadis tersebut, dan menolak kemungkinan terjadinya pernikahan usia dini terjadi pada diri Aisyah ra dengan Nabi saw., yang menjadi panutan, karena dalam pemahamannya, Islam sama sekali tidak merestui pernikahan usia di bawah umur. Tentu saja, banyak bantahan dan kritik yang disampaikan kepada Shanavas dan Antonio Syafi’i terkait argumentasi tersebut. Di antara tulisan bantahan yang berkembang di diskusi internet adalah yang disampaikan Syekh Gibril F. Haddad dan di kalangan penulis Indonesia dilakukan oleh Asep Sobari, Lc. Bantahan secara umum, dengan menyajikan data-data yang lebih valid secara ilmu sanad, sehingga ketika terindikasi kontradiksi harus dipilih yang paling valid, yaitu riwayat bahwa Aisyah memang menikah di usia 6 atau 7 tahun.
Yang pasti, teks-teks Hadis ini tercatat dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, beberapa kitab Hadis lain, serta sumber-sumber sejarah. Sehingga tidak bisa dikatakan, isu ini diciptakan dan disebarkan orang-orang orientalis sebagaimana dikatakan Antonio. Tetapi sumber-sumber Hadis dan sejarah juga merekam catatan-catatan yang bisa mengindikasikan banyak hal, sehingga penolakan terhadap teks-teks Hadis sebagaiman Shanavas dan Antonio bisa dimaklumi. Tetapi yang pasti, dalam catatan-catatan ini, ada banyak dimensi yang muncul dari pernikahan Aisyah dengan Nabi saw. Yaitu dimensi budaya, sosial, bahkan politik, serta dimensi wahyu. Semua dimensi ini, terutama wahyu, tidak lagi hadir sama persis pada konteks-konteks berikutnya, atau setidaknya jauh berbeda sehingga pemahaman pun pasti berbeda. Di sinilah ruang bagaimana kemudian ulama menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh untuk menggali makna dan pelajaran dari teks-teks Hadis Aisyah tesrebut.
Memaknai Hadis ‘Aisyah ra.
Jika kita merujuk pada komentar Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) terhadap Sahih Muslim misalnya, ada banyak pandangan ulama sekalipun secara umum membolehkan pernikahan di usia belia dengan syarat-syarat tertentu. Tetapi penjelasan mengenai siapa yang berhak, bagaimana, kapan, dan apakah ada hak pembatalan ketika mempelai sudah menginjak dewasa, terjadi perbedaan yang sangat tajam. Imam Syafi’i (w. 204 H) sendiri menyarankan pernikahan dilakukan setelah mempelai dewasa. Artinya, pernikahan usia belia tidak disarankan. Saran ini, kata Imam Nawawi, tidak bertentangan dengan teks Hadis Aisyah tersebut, karena pernikahan di usia belia bisa dibolehkan jika bisa dipastikan ada kemaslahatan yang nyata kembali kepada mempelai. Karena kekhawatiran kemaslahatan ini, Imam Syafi’i merekomendasikan pernikahan dilakukan di usia dewasa (‘Abd al-Bâqi, 2002: juz IX, hlm. 176-178).
Memaknai Hadis ‘Aisyah ra.
Jika kita merujuk pada komentar Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) terhadap Sahih Muslim misalnya, ada banyak pandangan ulama sekalipun secara umum membolehkan pernikahan di usia belia dengan syarat-syarat tertentu. Tetapi penjelasan mengenai siapa yang berhak, bagaimana, kapan, dan apakah ada hak pembatalan ketika mempelai sudah menginjak dewasa, terjadi perbedaan yang sangat tajam. Imam Syafi’i (w. 204 H) sendiri menyarankan pernikahan dilakukan setelah mempelai dewasa. Artinya, pernikahan usia belia tidak disarankan. Saran ini, kata Imam Nawawi, tidak bertentangan dengan teks Hadis Aisyah tersebut, karena pernikahan di usia belia bisa dibolehkan jika bisa dipastikan ada kemaslahatan yang nyata kembali kepada mempelai. Karena kekhawatiran kemaslahatan ini, Imam Syafi’i merekomendasikan pernikahan dilakukan di usia dewasa (‘Abd al-Bâqi, 2002: juz IX, hlm. 176-178).
Aspek yang diperdebatkan juga soal hak mempelai yang dinikahkan orang tuanya ketika masih usia belia; apakah ia berhak membatalkan pernikahannya ketika sudah menginjak usia dewasa. Sebagian mengatakan berhak, karena pernikahan adalah hak individu yang melekat pada masing-masing bukan pada orang tua. Sehingga ketika seorang belia dinikahkan orang tua/walinya, ketika ia menginjak usia dewasa ia berhak membatalkan pernikahan itu melalui fasakh. Sebagian ulama mengatakan tidak ada hak fasakh, selama pernikahan belia dilakukan sesuai syarat-syarat yang berlaku. Yang disebut usia belia, juga ulama berbeda pendapat; Imam Abu Hanifah (w. 150 H) memandang di bawah usia 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun perempuan, sementara Imam Syafi’i di bawah usia 15 tahun untuk laki-laki dan perempuan (Kharofa, 2004: hlm. 57-58).
Jika mayoritas ulama membolehkan pernikahan dini atau usia belia, didasarkan pada teks-teks Hadis Aisyah, dengan syarat-syarat tertentu, beberapa ulama salaf justru melarangnya. Pandangan ini dianut oleh ulama fiqh generasi awal seperti Utsman al-Batti (w. 143 H/), Ibn Syubrumah (w. 144 H/) dan Abu Bakr al-Ashamm (w. 225 H/840 M). Mengenai hadis Aisyah yang menikah di usia belia, Ibn Syubrumah misalnya memandangnya sebagai sesuatu yang berlaku khusus pada Nabi saw., tidak untuk umatnya. Sehingga setiap pernikahan tetap mensyaratkan dilakukan ketika usia seseorang sudah menginjak dewasa. Pandangan-pandangan ini yang kemudian dijadikan inspirasi para penyusun Hukum Keluarga di mayoritas dunia Islam (Muhammad, 2001: 71).
Jika mayoritas ulama membolehkan pernikahan dini atau usia belia, didasarkan pada teks-teks Hadis Aisyah, dengan syarat-syarat tertentu, beberapa ulama salaf justru melarangnya. Pandangan ini dianut oleh ulama fiqh generasi awal seperti Utsman al-Batti (w. 143 H/), Ibn Syubrumah (w. 144 H/) dan Abu Bakr al-Ashamm (w. 225 H/840 M). Mengenai hadis Aisyah yang menikah di usia belia, Ibn Syubrumah misalnya memandangnya sebagai sesuatu yang berlaku khusus pada Nabi saw., tidak untuk umatnya. Sehingga setiap pernikahan tetap mensyaratkan dilakukan ketika usia seseorang sudah menginjak dewasa. Pandangan-pandangan ini yang kemudian dijadikan inspirasi para penyusun Hukum Keluarga di mayoritas dunia Islam (Muhammad, 2001: 71).
Karena itu, seperti yang disebutkan di awal tulisan, kecenderungan Hukum Keluarga modern di mayoritas dunia Islam memberi batasan usia dewasa dimana seseorang dianggap berkapasitas menikah. Dalam kecenderungan ini, beberapa orang memilih menolak hadis-hadis Aisyah dengan berbagai alasan, sementara beberapa yang lain menerimanya sebagai warisan dan sumber hukum. Tidak sedikit juga yang menerima dan memaknainya dalam konteks kontemporer. Dalam pemaknaan ini, muncul syarat-syarat seperti kemaslahatan mempelai, kematangan mental dan fisik, izin orang tua, bahkan ada yang mensyaratkan kepentingan dakwah ketika membolehkan pernikahan belia. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka pernikahan belia tidak diperkenankan (Binti, 2008: hlm. 69-85).
Dalam upaya pemaknaan ini, yang harus dikedepankan adalah memastikan prinsip-prinsip pernikahan menjadi basis diskusi isu kontroversial ini. Sehingga, isu pernikahan dini tidak terlepas begitu saja secara parsial dari garis-garis dasar ajaran Islam. Prinsip-prinsi yang dimaksud, sebagaimana disebutkan Alquran, adalah kematangan dan kedewasaan (QS 4: 6 dan 5: 152), kerelaan dua pihak ( QS 2: 233), kemaslahatan pernikahan yang dirumuskan dalam istilah mawaddah, rahmah, dan sakinah (QS 30: 21), serta mu’asyarah bil ma’ruf ( QS 4: 19).
Dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip ini, perempuan harus menjadi subyek dalam pernikahan bukan sebagai obyek dari para lelaki, baik calon mempelai maupun wali perempuan. Perempuan harus didengar suaranya dan harapannya. Dalam banyak kasus terkait hak-hak perempuan, Nabi saw. seringkali mendengar suara perempuan dan mendukung mereka. Sebagaimana Nabi saw. mendengar suara Khansa bint Khidam yang dipaksa menikah dan mendukungnya agar terlepas dari paksaan itu. Nabi saw. juga mendengar suara dan memenuhi tuntutan perempuan yang menolak pemukulan suami mereka (Abdul Kodir, 2007: hlm. 49-90).
Dengan menjadi subyek, perempuan yang menikah pasti akan mempersiapkan diri sebagaimana juga laki-laki. Melalui persiapan-persiapan ini, apalagi jika persiapan itu pada konteks sekarang menyentuh dimensi pendidikan dan kesehatan reproduksi, dengan sendirinya pernikahan dini tidak akan menjadi pilihan sadar perempuan maupun laki-laki. Pernikahan dini pasti dilakukan karena paksaan atau keterpaksaan. Dan pilihan sadar ini, sebagaimana saran Imam Syafi’i di atas, sama sekali tidak bertentangan dengan teks-teks Hadis Aisyah di atas. Wallahu a’lam.[]
__________________
Rujukan:
1. ‘Abd al-Bâqi, Muhammad Fuad (ed.). 2002. Sahîh Muslim bi Syarh an-Nawawi. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah).
2. ‘Itr, Nuruddin. 1985. Manhaj an-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts. (Damaskus: Dar al-Fikr).
3. Abdul Kodir, Faqihuddin. 2007. Hadith and Gender Justice: Understanding the Prophetic Traditions. (Cirebon: Fahmina-institute).
4. Adz-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. 1995. Mîzân al-I’tidâl fî Naqd ar-Rijâl. (Beirut: Dari al-Kutub al-Ilmiyyah).
5. Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. 2004. Ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi. (Cairo: Dar Ibn Haitsam).
6. Amin, Kamaruddin. 2009. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. (Jakarta: Penerbit Hikmah).
7. Ibn al-Atsir, Mubarak bin Muhammad. 1983. Jâmi’ al-Ushûl min Ahâdîts ar-Rasûl. (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi).
8. Kharofa, Ala’eddin. 2004. Islamic Family Law: A Comparative Study with Other Religions. (Selangor: International Law Book Services).
9. Khasanah, Binti. 2008. Hadis-hadis Tentang Usia Pernikahan Aisyah ra: Studi Ma’anil Hadis. Skripsi di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
10. Muhammad, Husein. 2001. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. (Jakarta: Rahima; dan Yogykarta: LKiS).
11. Shanavas, T.O. 1999. Was Ayesha A Six-Year Old Bride? The Ancient Myth Exposed. Artikel bisa diakses di: http://www.deenresearchcenter.com/LinkClick.aspx?fileticket=LeQRMIpg%2Ffw%3D&tabid=58&mid=520&language=nl-NL.
12. Sobari, Asep. 2008. “Meluruskan Kembali Riwayat Pernikahan Rasulullah SAW-‘Aisyah ra”, artikel ditemukan di: http://basor.blogdetik.com/2008/10/31/meluruskan-kembali-riwayat-pernikahan-aisyah-ra/.
13. Syafi’i, Antonio. 2008. “Meluruskan Riwayat Pernikahan Rasulullah SAW - ‘Aisyah r.a.”, dalam: Muhammad Saw: The Super Leader The Super Manager. (Jakarta: Tazkia Multi Media).
14. Women Living Under Muslim Law (WLUML). 2007. Mengenali Hak Kita: Perempuan, Keluarga, Hukum dan Adat di Dunia Islam. (Yogyakarta: LKiS).
__________________
Rujukan:
1. ‘Abd al-Bâqi, Muhammad Fuad (ed.). 2002. Sahîh Muslim bi Syarh an-Nawawi. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah).
2. ‘Itr, Nuruddin. 1985. Manhaj an-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts. (Damaskus: Dar al-Fikr).
3. Abdul Kodir, Faqihuddin. 2007. Hadith and Gender Justice: Understanding the Prophetic Traditions. (Cirebon: Fahmina-institute).
4. Adz-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. 1995. Mîzân al-I’tidâl fî Naqd ar-Rijâl. (Beirut: Dari al-Kutub al-Ilmiyyah).
5. Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. 2004. Ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi. (Cairo: Dar Ibn Haitsam).
6. Amin, Kamaruddin. 2009. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. (Jakarta: Penerbit Hikmah).
7. Ibn al-Atsir, Mubarak bin Muhammad. 1983. Jâmi’ al-Ushûl min Ahâdîts ar-Rasûl. (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi).
8. Kharofa, Ala’eddin. 2004. Islamic Family Law: A Comparative Study with Other Religions. (Selangor: International Law Book Services).
9. Khasanah, Binti. 2008. Hadis-hadis Tentang Usia Pernikahan Aisyah ra: Studi Ma’anil Hadis. Skripsi di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
10. Muhammad, Husein. 2001. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. (Jakarta: Rahima; dan Yogykarta: LKiS).
11. Shanavas, T.O. 1999. Was Ayesha A Six-Year Old Bride? The Ancient Myth Exposed. Artikel bisa diakses di: http://www.deenresearchcenter.com/LinkClick.aspx?fileticket=LeQRMIpg%2Ffw%3D&tabid=58&mid=520&language=nl-NL.
12. Sobari, Asep. 2008. “Meluruskan Kembali Riwayat Pernikahan Rasulullah SAW-‘Aisyah ra”, artikel ditemukan di: http://basor.blogdetik.com/2008/10/31/meluruskan-kembali-riwayat-pernikahan-aisyah-ra/.
13. Syafi’i, Antonio. 2008. “Meluruskan Riwayat Pernikahan Rasulullah SAW - ‘Aisyah r.a.”, dalam: Muhammad Saw: The Super Leader The Super Manager. (Jakarta: Tazkia Multi Media).
14. Women Living Under Muslim Law (WLUML). 2007. Mengenali Hak Kita: Perempuan, Keluarga, Hukum dan Adat di Dunia Islam. (Yogyakarta: LKiS).
Comments
Post a Comment