Kontradiksi Syiah: Catatan untuk Buku “Kesesatan Sunni-Syiah”
Oleh: Kholili Hasib
Pada kitab dan halaman yang sama Imam ‘Iyadl dan al-Baji mengatakan bahwa yang tidak bisa minum air di al-Haudl adalah orang-orang yang murtad di masa setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Mereka adalah orang-orang yang diperangi oleh Abu Bakar. Pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, terdapat orang-orang yang baru masuk Islam murtad dari Islam. Namun yang murtad tidak ada dari para pembesar-pembesar sahabat. Orang yang murtad ini bukan lagi al-shahabat, sebab definisi sahabat adalah orang yang beriman yang bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam dan meninggal dalam keadaan beriman.
Polemik Ahlus Sunnah-Syiah tentang
kesesatan Syiah di harian Republika tahun lalu ternyata membuat
kelompok Syiah meradang. Kemarahan dan kegalauan Syiah ditumpahkan dalam
buku berjudul “Kesesatan Sunni-Syiah, Respon atas Polemik di harian Republika” ditulis oleh Babul Ulum (BU), mahasiswa s-3 UIN Jakarta dan alumni pesantren Gontor.
Diterbitkan oleh Aksara
Pustaka Depok pada Januari 2013. Bahasa yang ditulis dalam buku
tersebut cenderung tidak memakai etika serta adab terhadap tokoh dan
institusi terhormat.
Dalam pengantarnya, BU menuduh MUI memprofokasi umat Islam Sampang untuk berbuat anarkis, “Para
pelaku kriminal tersebut berbuat anarkis karena merasa telah memperoleh
lampu hijau dari para provokator yang bergabung dalam MUI Sampang dan
Jatim”.
Dalam pengantarnya
tersebut BU juga melemparkan tuduhan bahwa MUI Jawa Timur dan Majelis
Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menebar virus kebencian
antarsesama umat Islam.
Tentu saja, bagi yang
sudah menelaah fatwa MUI Jawa Timur yang diterbitkan pada 21 Januari
2012 akan mudah menyimpulkan bahwa si penulis dan mungkin saja
tokoh-tokoh Syiah lainnya sedang ‘terbakar emosinya’, sehingga tidak utuh membaca butir-butir fatwa MUI Jatim.
Sebab, tidak ada sama
sekali himbauan, surat resmi apalagi fatwa untuk menyerang pemeluk Syiah
di Sampang Madura. Fatwa itu diterbitkan juga bukan untuk memancing
amarah Syiah, tapi justru untuk mengamankan antara Sunnah dan Syiah.
Syiah pasti keberatan dengan fatwa tersebut, karena kedok-kedok
kesesatannya terbuka.
Mari kita telaah fatwa itu secara utuh. Dalam rekomendasinya MUI Jatim menulis tujuh butir.
Pada butir (b) tertulis: “Kepada
Umat Islam diminta untuk tidak mudah terprovokasi melakukan tindakan
kekerasan (anarkisme), karena hal tersebut tidak dibenarkan dalam Islam
serta bertolak belakang dengan upaya membina suasana kondusif untuk
kelancaran dakwah Islam”.
Pada butir (e) rekomendasi fatwa itu tertulis, “Kepada
Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dimohon agar bertindak tegas dalam
menangani konflik yang terjadi, tidak hanya pada kejadiannya saja,
tetapi juga faktor yang menjadi penyulut terjadinya konflik, karena
penyulut konflik adalah provokator yang telah melakukan teror dan
kekerasan mental sehingga harus ada penanganan secara komprehensif”.
Latar belakang
diterbitkannya fatwa sesat tersebut justru karena dipicu ajaran Tajul
Muluk yang menghina sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Tajul
dihukum dua tahun penjara.
Jadi, siapakah yang provokator di Sampang? Akal sehat pasti akan menyimpulkan bahwa pelaknatan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam
oleh Tajul-lah yang memicu Sampang membara. Sebelum ada ajaran
pelaknatan, umat Sampang aman, dan damai. Jika BU dan kelompok Syiah
Indonesia membela Tajul, berarti sama saja menyokong tumbuhnya
benih-benih permusuhan terhadap umat.
Sebagaimana sudah
menjadi kebiasaan, Syiah selalu menghindar untuk berdalil menggunakan
kitab-kitab standar mereka. Mereka mencari-cari dalil di kitab Ahlus
Sunnah dengan cara memutilasi penafsiran dan kalimat. Strategi ini untuk
mengelabuhi umat Ahlus Sunnah bahwa basis ideologi Syiah juga ditemukan
di referensi Ahlus Sunnah. Inilah bentuk taqiyah akademik Syiah.
Di antaranya menyodorkan riwayat Ibnu Asakir yang terdapat dalam Tarikh Dimasyqa yang berbunyi:
لكل نبي وصي ووارث وإن عليا وصيي ووارثي
“Setiap Nabi mempunyai seorang washi dan pewaris. Sesungguhnya Ali adalah wahiku dan pewarisku”.
Padahal riwayat ini menurut Imam al-Suyuthi palsu (lihat Lu’lu’ al-Mashnu’ah fi Ahadits al-Maudhu’ah jilid I hal. 368). Begitupula imam al-Zarqani, menurutnya hadits ini tertolak, sanadnya tidak jelas.
Hadits berikutnya berbunyi:
أنت مني بمنزلة هارون من موسى
“Kedudukanmu di sisiku seperti Harun di sisi Musa.” (HR. Bukhari Muslim). Hadits ini menjadi andalan Syiah untuk melakukan tipuan terhadap jamaah Ahlus Sunnah. Bahwa akidah Syiah telah dilegitimasi oleh hadits Sunni.
Syeikh Ali Ahmad as-Salus dalam Ma’a al-Syiah al-Itsna ‘Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu’ (mausu’ah
syamilah) Dirasa Muqaranah fi al-‘Aqoid wal Tafsir yang diterjemahkan
dalam edisi Indonesia “Ensiklopedi Sunnah-Syiah”, menjelaskan secara
utuh asabab al-wurud hadits tersebut.
Ketika perang Tabuk, Ali
dipercaya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam untuk
menggantikan tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam di Madinah.
Ali bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau mempercayaiku sebagai
pengganti tugasmu bagi kaum wanita dan anak-anak?” Rasulullah menjawab,
“Apakah engkau tidak mau untuk aku jadikan seperti kedudukan Harun dari
Musa, akan tetapi ketahuilah bahwa tidak ada Nabi sesudahku”.
Hadits ini menunjukkan keutamaan Ali sebagai orang kepercayaan Rasulullah saat Rasulullah berangkat perang di Tabuk. Hadits ini tidak menunjukkan pengangkatan Ali sebagai Khalifah.
Hadits ini menunjukkan keutamaan Ali sebagai orang kepercayaan Rasulullah saat Rasulullah berangkat perang di Tabuk. Hadits ini tidak menunjukkan pengangkatan Ali sebagai Khalifah.
Tidak ada term yang
jelas dan lugas dalam hadits itu. Penunujukan Rasulullah itu ternyata
sudah biasa beliau lakukan kepada sahabat-sahabat yang lain, selain Ali.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah mengangkat Ibn Abi
Maktum untuk mengganti tugas Rasul sebagai kepala pemerintahan di
Madinah saat Rasul perang dengan Bani Nadhir dan Khandaq.
Begitupula pernah
menunjuk Ustman bin Affan ketika beliau keluar dalam perang Dzaturriqa’
dan menunjuk Abdul Mundzir ketika Nabi berangkat perang Badar.
Jika penunjukkan Ali
pada perang Tabuk itu oleh BU dianggap sinyal bahwa Ali menjadi Khalifah
Rasul atau Imam, tentu konsekuensinya Ibnu Abi Maktum, Ustman, dan
Abdul Mundzir juga harusnya menjadi Khalifah Rasul dan imam bagi kaum
Syiah. Tapi kenyataannya justru kaum Syiah melempar sahabat Ustman dari
barisan murid Rasul yang adil. Bahkan dicela dan dimaki.
Lagi-lagi, Syiah
melakukan manipulasi penafsiran. Sejatinya ini bukan perbedaan
penafsiran hadits, tapi penyelewengan atau penyesatan hadits Rasul.
Tentu saja berbeda antara penafsiran dan penyesatan. BU membela diri
bahwa perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Syiah itu pada perbedaan
interpretasi. Ia menulis, “Jadi masalahnya di sini pada perbedaan
interpretasi. Dalam masalah ini semestinya tidak boleh ada klaim
kebenaran dan saling menyesatkan. Masing-masing pihak memiliki kaca mata
kebenaran yang berbeda” (hal. 22).
Pembelaan diri Syiah
biasanya dengan mengangkat logika relativisme dan menutupi dalil dalam
referensi standar Syiah. Relativisme adalah ajaran bahwa tidak ada lagi
nilai yang memiliki kelebihan dari nilai-nilai agama. Satu keyakinan
tidak boleh mengklaim memiliki kebenaran absolut yang paling benar.
Ajaran ini merupakan inti paham liberalisme. Jika telah terpojok Syiah
biasanya memakai pisau ini untuk membela diri.
Klaim syiah bahwa Ali
sebagai Imam itu bagian dari akidah Syiah. Bahkan dari akidah ini syiah
memperlihatkan sebagai sekte Takfiri. Al-Kulaini, penyusun kitab
al-Kafi, mengatakan bahwa orang yang tidak mengakui Ali sebagai imamah
adalah musyrik (Muhammad bin Ya’qub al-Kulayni, al-Kafi juz I hal.
427). Al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar mengatakan, “Ketahuilah,
sesungguhnya ungkapan lafadz Syirik dan kufur itu ditujukan untuk orang
yang tidak beriman terhadap keimamahan amirul mu’minin (Ali)” (al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 23 hal. 390).
Dua hadits di atas
dalam pandangan Syiah, merupakan hadits-hadits dalam kategori akidah.
Sehingga penyelewangan Syiah terhadap makna hadits sangat terlampau
jauh. Oleh sebab itulah, maka ini bukan sekedar beda tafsir. Yang tepat
ini penyesatan makna hadits. Perbedaan penafsiran itu memang ada di
kalangan ulama’. Tapi perbedaan penafsiran pendapat itu biasanya terjadi
dalam ranah ijtihadiyah dalam teks-teks yang bersifat dzaniyyat.
Perbedaan ini dapat pula disebut tanawwu’ (variatif) (Ibn Taimiyah, Iqtida’ Shirat al-Mustaqim,124).
Kontradiksi cukup
kelihatan ketika BU menyodorkan hadits riwayat Bukhari, bahwa terdapat
satu riwayat tentang murtadnya sebagaian sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi Wassalam yang diakui shahih oleh Ahlus Sunnah. Hadits tersebut
berbunyi:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, ‘Pada hari kiamat
segolongan dari sahabatku (ashabiy) akan menghampiriku. Tiba-tiba mereka
dijauhkan dari telaga. Maka aku berkata, ‘Tuhan! Mereka para
sahabatku’. Dia menjawab, ‘Sesungguhnya engkau tidak mengetahui (bid’ah)
apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu. Sesungguhnya mereka telah
murtad dari apa yang telah diperintahkan.” (HR. Bukhari).(hal. 34).
BU mengomentari hadits tersebut, “ … tidak berlebihan sekiranya kita simpulkan bahwa hadits murtadnya sahabat adalah mutawatir”. Menurut BU, MUI Jatim dan KH. Ma’ruf Amin menuduh Syiah memurtadkan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah keliru. Sebab, katanya, justru Syiah mengetahui kemurtadan sahabat dari riwayat Ahlus Sunnah (baca hal. 35).
Logika BU tampak makin
terlihat kebingungan. Pada halaman-halaman sebelumnya ia menolak Syiah
dikatakan memurtadkan sahabat, dan membela Tajul Muluk. Namun, di
halaman 34-35 ia menyodorkan hadits Bukhari bahwa Syiah mengetahui
kemurtadan shabat dari hadits Bukhari tersebut. Artinya, BU sesungguhnya
mengakui ada sahabat yang murtad, meski itu diakui ‘nyontek’ dari hadits Bukhari.
Lantas bagaiman hadits riwayat Bukhari di atas? Dalam kitab Fath al-Bari 13 hal.197, al-Khattabiy menjelaskan hadits ini:
قال الخطابى: لم يرتد
من الصحابة أحد وانما ارتد قوم من حفاة الاعراب ممن لا نصرة له فى الدين
وذلك لا يوجب قد حا فى الصحابة المشهرين
Al-Khathaby berkata: “Tidak
seorangpun dari sahabat-sahabat Nabi telah murtad, tiada lain
sesungguhnya yang murtad adalah kelompok dari pembelot-pembelot di
kalangan bangsa Arab pedesaan, itu kelompok yang tidak pernah menolong
kepentingan Islam.”
Pada kitab dan halaman yang sama Imam ‘Iyadl dan al-Baji mengatakan bahwa yang tidak bisa minum air di al-Haudl adalah orang-orang yang murtad di masa setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Mereka adalah orang-orang yang diperangi oleh Abu Bakar. Pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, terdapat orang-orang yang baru masuk Islam murtad dari Islam. Namun yang murtad tidak ada dari para pembesar-pembesar sahabat. Orang yang murtad ini bukan lagi al-shahabat, sebab definisi sahabat adalah orang yang beriman yang bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam dan meninggal dalam keadaan beriman.
BU menyontek matan
hadits tersebut namun mengkreasi sendiri makna yang jauh dari yang
sesungguhnya sebagaimana diterangkan dalam kitab Fath al-Bari syarah kitab al-Bukhari. Inilah yang disebut Kalimatun haq urida biha Bathil (kalimat benar digunakan untuk kepentingan kebatilan).
Ahlus Sunnah tidak pernah mengajarkan penistaan apalagi pemurtadan sahabat
Comments
Post a Comment