Kekerasan di Kepala Kita

Radhar Panca Dahana ; 
Budayawan
KOMPAS, 30 Mei 2014 


KETIKA pemain belakang Barcelona, Dani Alves, dilanggar dengan keras oleh lawannya, pemain belakang Real Madrid, Pepe, anak remaja di sebelah saya sekonyong-konyong berteriak, ”Sudah... senter aja... senter aja!” Wajah remaja 14 tahun itu serius menatap kotak kaca, seolah ia berada langsung di stadion kesebelasan favoritnya, Nou Camp, Spanyol.

”Senter” sebuah istilah sepak bola tarkam (antarkampung) yang artinya menendang bola dengan kuat ke arah bagian penting tubuh orang lain, seperti kepala, dada, atau bagian alat vital. Keterkejutan saya dengan seruan keras anak itu tak ada apa-apanya ketimbang rasa kaget dan sedih saat mendengar jawaban yang saya dengar darinya ketika saya tak kuasa bertanya, ”Biar apa di-senter?” ”Ya, biar mati aja sekalian!” Kedua biji matanya tidak lepas dari layar kaca TV.

Lain ruang dan waktu, seorang gadis kelas II SMP menuliskan kegelisahannya via Twitter kepada sang pacar tentang salah seorang teman sekelasnya yang terus mengganggu dan menggoda agar mau menjadi kekasihnya. ”Padahal kan aku sudah jadi pacar kamu,” kicaunya di gadget yang sangat canggih. ”Kurang ajar, biar nanti gw tabok bolak-balik tu co!” Twit balasan datang dari sang pacar. ”Ya, pukulin aja ampe abis,” segera sang gadis kembali berkicau, ”jangan tanggung, ampe mampus biar ntar gw yg nguburin.”

Asyik. Cerita di atas mungkin mengasyikkan, entah bagi kalangan remaja atau pembaca umumnya. Semua itu memang cerita, tapi bukan fiksi atau imajinasi rekaan seorang pengarang. Kisah itu adalah realitas yang benar terjadi, bukan hanya pada dua remaja yang menjadi ihwal kisah di atas. Namun, boleh jadi juga pada (puluh) jutaan anak-anak kita, generasi muda Indonesia yang menjadi penjaga republik dan bangsa ini nanti. Kekerasan sudah bersemayam dan hampir permanen dalam kepala mereka, dalam pikiran dan sudut-sudut di ruang imajiner mereka. Apa yang sebenarnya terjadi?

Yang terjadi adalah sebuah proses internalisasi kekerasan (juga vandalisme, seksualisme, verbalisme/banalisme, dan lain-lain), fisik dan psikis, virtual dan imajinatif, ke dalam diri anak-anak kita secara intens hampir tiada henti, setiap hari bahkan mungkin tiap jam di sekujur usia mereka. Sebuah proses yang terjadi tanpa kita sadari di saat kita tidak bisa menerima kenyataan kita–representan dari lembaga-lembaga tradisional—telah menjadi pecundang melawan apa yang disebut sebagai ”lingkungan”.

Guru-guru baru 

Anak-anak negeri ini, terutama di daerah urban, sudah cukup lama mengalami semacam disorientasi, sebagaimana dikonstatasi banyak pihak, lantaran mereka kehilangan figur yang dapat mereka gugu (menjadi acuan nilai, moral, dan lainnya) maupun tiru (ikuti langkah dan perbuatannya) alias guru. Tiga kekuatan tradisional yang selama ini bertugas menjaga nilai dan menjadi contoh dari kemuliaan dan keluhuran sebuah adab atau budaya: negara (yang direpresentasi oleh sekolah formal), agama (ustaz, masjid, atau pengajian), maupun adat (orangtua/keluarga) ternyata tidak berdaya menghadapi hanya satu lawan: lingkungan.

Bila tiga kekuatan tradisional itu lekat dengan stigma yang kaku, lokal, struktural-feodal, menjemukan, cenderung otoriter dan fundamentalistik, tertutup dan membentengi diri (seperti umumnya bangunan sekolah, masjid/gereja, dan rumah-rumah modern) juga lamban, dalam arti berkembang dengan kecepatan yang kecil; sementara lingkungan sebagai lawan mereka adalah ruang egaliter, terbuka, kosmopolit, global, fun, entertaining, fresh alias segar dan selalu baru, serta bergerak dengan velocity tinggi, yang tak habis menggoda siapa pun yang berenang di dalamnya.

Semua hal di atas diwakili oleh sebuah dunia ”lain” yang dalam setidaknya dua dekade belakangan ini begitu gencar dipenetrasi sehingga ia tidak hanya menjadi alternatif dari dunia nyata (real reality), tetapi juga menjadi dasar acuan yang bisa digunakan untuk meneguhkan eksistensi, hingga prestasi, prestise, maupun gengsi. Dunia khayal dan virtual yang hadir bersama berbagai genre produk canggih teknologi media informasi, mulai dari telepon seluler dengan program atau fitur-fiturnya, media sosial, internet, game daring, komik, candid video, Youtube, hingga saluran TV kabel yang menyediakan 15 saluran khusus film (movies) 24 jam setiap harinya.

Realitas virtual itu tidak hanya membuat seorang anak bisa bergeming di depan layar kaca, katakanlah untuk ”nonton bioskop” hingga 3-4 kali sehari (tradisi yang dahulu hanya kita lakukan sekali seminggu), tapi juga merebut fokus atau perhatian mereka yang terebut atau tergeser dari aktivitas tradisional yang ditawarkan oleh tiga lembaga lama di atas.

Tiga lembaga di mana sebenarnya (bangsa) kita mencoba mempertahankan daya hidupnya lewat transmisi nilai, moralitas, etika, dan estetika yang dikembangkan ratusan bahkan ribuan tahun oleh nenek moyang. Tiga lembaga yang hanya mampu termangu menyaksikan hidup anak-anak biologis dan kultural mereka tiap menit tenggelam dalam gelombang virtual yang bercahaya di layar LCD mereka.

Mereka berenang pergi meninggalkan orangtua sosial-spiritual-kultural mereka, tanpa ngeri, prihatin, dan sesal sama sekali. Mereka bahagia. Kita pun terseret ikut ”berbahagia”. Bagaimana tidak realitas hyper-modern itu menjadi orang(tua) terdekat mereka bila intensitas perjumpaan dan komunikasi (juga proses internalisasinya) dengan realitas baru jauh lebih tinggi dibanding siapa pun yang mewakili lembaga-lembaga tradisi di atas, bahkan termasuk orangtua biologisnya sendiri?

Apa sebenarnya yang mereka dapatkan dari dunia atau guru-guru baru itu? Tidak lain spekulasi-spekulasi khayali yang mengisi lorong dan sudut-sudut ruang imajiner, intelektual, mental, bahkan spiritual anak-anak kita. Baik tentang norma atau tindakan sosial atau relasi antara manusia, kemungkinan-kemungkinan ekstrem yang dapat dilakukan manusia, bahkan ”penciptaan” realitas-realitas baru yang belum pernah jadi preseden bahkan di dunia imaji generasi pendahulunya.

Bila generasi tahun 1960-an hingga awal 1980-an menikmati kekerasan dalam film-film silat Mandarin, mereka hanya menemukan tubuh yang babak belur atau sedikit darah menetes di ujung bibir atau hidung, maka hari ini kita melihat kekerasan itu dalam bentuk yang paling ekstrem, bukan hanya belati yang menembus leher atau kepala, tubuh yang terpotong dua, pedang yang melesak dada dan mengoyak jantung yang terburai keluar, tetapi juga komplet dengan erangan keras dan cipratan darah di sekujur layar kaca. Kekerasan itu begitu cermat, detail, dan rajin mengisi semua ruang kesadaran juga bawah sadar anak-anak, juga kita, ternyata.

Orangtua yang ingkar 

Bila kemudian muncul berbagai kasus mengiriskan yang semua menjadi preseden dalam kehidupan sosial dan kultural kita, dia hanya menjadi konsekuensi logis dari kenyataan baru—yang tak kita sadari dan tak mampu atasi—di atas. Dengan kondisi fisis dan psikisnya yang memang rapuh dan labil, anak-anak yang tidak cukup ketat mendapat pengawasan itu akan mendapat dorongan yang tidak kuasa mereka tahan untuk mengekspresikan dunia imajiner itu dalam kenyataan.

Pada awalnya ia berbentuk spekulasi-spekulasi dalam kepala, lalu muncul dalam verbalisme seperti kisah di awal tulisan ini, dan ketika ada situasi yang mendorong/menekan mereka akan merealisasikannya, kadang tanpa mereka pahami atau sadari kenapa dan apa akibatnya. Bagaimana seorang anak belasan tahun memperhitungkan semua sebab dan akibat (sosio-kultural) untuk memukuli adik kelasnya hingga mati.

Seorang paman juga belasan tahun memerkosa keponakannya sendiri yang baru berusia tiga tahun. Seorang anak tetangga 13 tahun melakukan kekerasan seksual (paedofilia) kepada beberapa tetangganya yang belum lewat usia delapan tahun. Anak 14 tahun mencekik neneknya yang melarang ia bermain game hingga tewas tanpa ia sadari. Dan, puluhan kasus yang bisa Anda sebut sendiri.

Bila kemudian reaksi kita diwujudkan dalam bentuk sanksi dan hukuman, mengeksklusi sang pelaku dari sekolah dan kehidupan sosialnya (ke penjara anak-anak) serta memecat guru atau pimpinan dinas pendidikan, apa kemudian masalah terselesaikan? Kita tahu sendiri jawabannya. Bila para petinggi keamanan dan dunia pendidikan, hingga pemerhati dan pelindung anak-anak berseru keras untuk memberi hukuman maksimal kepada pelaku (yang juga anak-anak), apakah masalah akan lerai dan kekerasan dapat ditekan hingga minimal? Anda bisa memberi jawaban sendiri.

Semua solusi itu bukan hanya gagal mengidentifikasi substansi masalah, membaca kenyataan yang kini berkembang, tapi juga menjadi semacam alibi atau pengingkaran diri sebagai salah satu musabab dari semua tragedi di atas. Kita mungkin tidak akan pernah sadar apalagi mengakui, demi gengsi, prestise kosong, dan gaya hidup, kita justru membiayai semua kebutuhan pendidikan kekerasan itu. Pihak keamanan mengeluarkan biaya negara untuk melakukan pembiaran atau permisi terjadinya semua proses itu di depan mata mereka. Dan, sekolah meminta Rp 360 triliun dari uang rakyat untuk membiayai sistem pendidikan yang mengajarkan asas kebebasan individual, berekspresi, berserikat, hingga hak asasi yang keliru pada anak-anak didik mereka.

Di bagian lain, kaum elite dan banyak orang dewasa (orangtua) memproduksi pikiran dan perbuatan–yang terdiseminasi dengan baik melalui media massa di berbagai foranya—di mana contoh-contoh kekerasan dan deviasi seksual menjadi ilham anak dan cucunya. Kekerasan itu, teror bahkan teroris itu ada, tidak sembunyi, tapi kita pelihara dan biayai untuk berdiam di dalam diri kita, dalam rumah, dalam tas kerja hingga pikiran, perasaan dan mungkin cara kita menghayati Tuhan.

Bagaimana semua pihak yang berwenang masih saja memberlakukan pola penghukuman dan penalti yang sudah begitu ortodoksnya, untuk mengatasi soal yang begitu modern dan futuristik ini? Mengapa mereka tidak pernah mencoba memahami kebudayaan itu apa, sebelum sesumbar mengatakan, ”Ada masalah budaya dalam hal ini?” Mengapa terlalu banyak kita memproduksi diksi dan semantika hampa? Apa memang telah sehampa itu hidup kita? ●

Comments

Popular posts from this blog

Sikap Positif Bangsa Arab Jahiliyah Sebagai Modal Turunnya Islam di Jazirah Arab

Nasehat Elang Pada Anaknya

Tujuh Tanda Kebahagiaan