Catatan Kritis Untuk Buku 40 Masalah Syi’ah

Oleh : Fahmi Salim, MA

Pengantar
Berikut ini adalah catatan eksklusif saya yang ditunjuk oleh MUI Pusat untuk menjadi Pembahas/Pembanding dalam acara Bedah Buku “40 Masalah Syiah” karangan Emilia Renita dan Jalaluddin Rakhmat oleh Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang Kemenag RI tanggal 17 Desember 2012 silam.

Catatan eksklusif ini saya percayakan kepada Hidayatullah.com untuk dipublikasikan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik dari saya kepada umat, agar khalayak tahu kerusakan ajaran Syi’ah dan metode penulisan tokoh-tokohnya yang sangat jauh dari etika ilmu dan adab ilmuan.

Bab 1: Syi’ah Tidak Berdasar Ajaran Al-Qur’an (hal.21-28)
Kaum Syi’ah Rafidhah melandaskan ajarannya kepada 3 ayat di dalam Al-Qur’an yang populer disebut Ayat Tathir (Penyucian, Al-Ahzab: 33), Ayat Wilayah (Kepemimpinan, Al-Maidah: 55), dan Ayat Mawaddah (Kecintaan, Al-Syura: 23).

Seperti biasa Jalaluddin Rakhmat, setelah mengutip beberapa hadis tentang sabab nuzul ayat Tathir, mengatakan, “Hadis-hadis ini dengan jelas menunjukan bahwa ahlulbait itu tidak termasuk ke dalamnya istri-istri Nabi saw. Kata “innama” menunjukkan bahwa ahlulbait dibatasi pada orang-orang yang namanya disebut dalam hadis itu. Karena ahlulbait dijamin suci dengan firman Tuhan, Syi’ah tidak menemukan selain ahlulbait, imam yang patut mereka patuhi”. Padahal jika dikumpulkan semua nash yang menjelaskan cakupan ahlulbait baik dari Al-Qur’an (sirkulasinya, siyaq-nya, dan asbab nuzulnya) dan hadis-hadis yang berkaitan, disimpulkan bahwa ahlulbait mencakup Rasulullah, para istri beliau, keluarga Ali, keluarga Uqail, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas yang haram menerima harta zakat. Bahkan, konteks ayat Tathir secara gamblang awalnya terma ahlulbait khusus untuk istri-istri Nabi, karena ayat-ayat sebelum dan sesudahnya turun khusus untuk istri Nabi. Ali, Fathimah, Hasan dan Husain masuk ke dalam terma ahlulbait disebabkan permohonan Nabi kepada Allah yang kemudian diperkenankan.

Setelah itu ia mendaftar kitab-kitab tafsir ahlussunnah, yang menurutnya, diklaim menyatakan bahwa ayat Tathir itu adalah khusus untuk 4 orang ahlulbait saja. Padahal kitab-kitab tafsir yang dirujuknya tidak berpendapat demikian, bahkan mereka pada umumnya berpegang kepada cakupan ahlulbait yang luas, tidak khusus untuk 4 orang saja. (lihat Tafsir At-Thabari 22: 6-8, Ad-Durr Al-Mantsur 5: 198-199, Ahkam Al-Qur’an al-Jashash 5: 230, Al-Kassyaf 1: 193, Ahkam Al-Qur’an Ibn Arabi 2; 166, Al-Qurthubi 14: 182, Ibnu Katsir 3: 483-485, dan lain-lain).

Ayat Wilayah dalam Al-Maidah: 55, juga dijelaskan oleh penulisnya secara meyakinkan bahwa yang dituju adalah Ali bin Abi Thalib, dengan menyandarkan pendapat itu kepada Tafsir Al-Tsa’labi 4: 80. Padahal Tafsir al-Tsa’labi tidak direkomendasikan menjadi rujukan ahlussunnah karena banyak mencampur aduk riwayat-riwayat yang lemah dan palsu dalam penafsirannya, sehingga Al-Baghawi yang menulis tafsir Ma’alim At-Tanzil yang meringkas tafsir Al-Tsa’labi ‘Al-Kasyf wa Al-Bayan’ telah membuang riwayat-riwayat palsu dan pandangan bid’ah dari tafsirnya (Majmu’ Fatawa, vol.13/345). Menurut Ibnu Taymiah, periwayatan Al-Tsa’labi dalam tafsirnya tidak otomatis menjadi bukti kesahihan riwayat itu sesuai kesepakatan ahli ilmu dan tidak wajib diikuti karena ia seperti pencari kayu bakar di malam hari (Minhaj Sunnah, vol.7/299-230 dan vol.7/30). Hanya itulah satu-satunya tafsir yang mendukung penafsiran wilayah Ali. Selebihnya, kitab-kitab Tafsir ahlussunnah yang disebut oleh Jalal tidak pernah menguatkan pendapat tersebut. Kitab tersebut hanya menyebutkan riwayatnya dengan menjelaskan kelemahan pendapat tersebut dan menguatkan penafsiran yang lebih rajih berdasar riwayat-riwayat yang sahih. Yaitu, kitab Tafsir Ahkam Al-Qur’an Jashash 2: 558, Ruh Al-Ma’ani 6: 167, Ibnu Katsir 2: 74, Al-Kassyaf 1: 639, Al-Thabari 6: 288-289, Al-Qurthubi 6: 219-220 dan lain-lain.

Ayat Mawaddah juga sama, penulisnya seperti biasa mengutip hadis tentang mencintai ahlulbait yang diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dengan mengutip pendapat Ibnu Hajar Al-Haytami soal “kebaikan” sebagian sanadnya padahal Al-Haytami bukanlah pakar hadis yang menjadi rujukan dalam menilai sahih tidaknya suatu hadis atau menguasai ilmu jarh wa ta’dil. Ia lantas menyebut beberapa tafsir ahlussunnah yang meriwayatkan hadis tadi seperti: Al-Kassyaf 3: 402, Fakhr Razi 27: 266, al-Baidhawi 4: 123, Ibnu Katsir 4: 112, Al-Qurthubi 16: 22, dan lain-lain. 

Namun, penulis tidak jujur atau sengaja tidak menyebutkan komentar para pakar tafsir dan hadis terhadap hadis itu dalam kitab yang dikutip olehnya. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, misalkan, mengomentari hadis riwayat Ibnu Abi Hatim dengan sanadnya dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, Rasulullah menjawab pertanyaan sahabat “Siapakah kerabatmu yang Allah perintahkan untuk mencintai mereka?” yaitu, “Fathimah dan putra-putranya”. Hadis itu kata beliau adalah Dla’if disebabkan ada perawi yang mubham (tak diketahui namanya) dari Husain Al-Asyqar, dia adalah syekh Syi’ah yang ekstrim dan rusak (mukhtariq) dan kabarnya tidak boleh diterima dalam hal ini. 

Lagi pula, kata Ibnu Katsir, ayat dan surat ini adalah makkiyah, pada saat itu Fathimah belum menikah dengan Ali apalagi memiliki keturunan. Yang pantas adalah jika ayat dan surah ini turun di madinah. Lihat Tafsir Ibnu Katsir vol.7/184. Imam As-Suyuthi dalam tafsir Ad-Durr Al-Mantsur juga menyatakan sanad hadis itu dla’if dan dikuatkan oleh Ibnu Hajar Asqallani dalam Takhrij hadis-hadis tafsir Al-Kassyaf. Lihat Tafsir Ruh Al-Ma’ani vol.13/31.


Bab 2 : Akidah Tahrif Al Quran (hal. 37-44)

Penulis buku menolak akidah Tahrif Al-Qur’an yang masyhur di kalangan Syi’ah terutama karena diriwayatkan oleh referensi utama Syi’ah dalam tafsir dan hadis seperti Tafsir Al-Qummi dan kitab Al-Kafi yang ditulis oleh Al-Kulaini yang dijuluki ‘Tsiqatul Islam’, seraya mengutip ulama kontemporer yang menolaknya. Padahal seperti lampiran makalah ini, jelas Syi’ah secara ijma meyakini tahrif Al-Qur’an, dan ulama mereka yang menolaknya disebabkan karena taqiyah.

Namun yang lebih parah, adalah ketika Syi’ah terdesak oleh keyakinan sesat tahrif Al-Qur’an ini, mereka lantas balik menyerang ahlussunnah dengan menyebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan para sahabat yang mengindikasikan terjadinya penambahan dan pengurangan Al-Qur’an. Padahal dalam kajian ahlussunnah riwayat-riwayat tersebut bukan dalam pengertian tahrif, melainkan dalam pengertian nasakh (penghapusan ayat, baik hukum maupun bacaan/tulisan, atau kedua-duanya). Jelasnya antara tahrif dengan nasakh sangat berbeda. Jika tahrif itu karena faktor kesengajaan manusia, dalam nasakh hal itu karena faktor kehendak Allah swt yang ingin menghapus suatu hukum dan tak ada campur tangan manusia di dalamnya.

Berbagai literatur seperti Al-Burhan (vol.2/41-46) karya Az-Zarkasyi, Al-Itqon (hlm.332&336) karya As-Suyuthi dan Manahil Irfan (vol.2/154-155) karya Az-Zarqani memberi contoh hadis Sayidah Aisyah tentang hukum 10 kali susuan yang dinasakh oleh 5 kali susuan (HR.Muslim) untuk kategori nasakh (konsep abrogasi) baik pada hukum dan bacaan Al-Qur’an. Sedangkan riwayat Sayidina Umar tentang ayat rajam (HR.Bukhari) dan riwayat Ubay ibn Ka’ab tentang ayat rajam (HR.Ibnu Hibban), dijadikan contoh untuk kategori nasakh pada bacaan saja, dan hukumnya tetap berlaku.
Menilai riwayat-riwayat yang dikategorikan nasikh-mansukh menurut konsep ‘Ahlusunnah’, dan menyamakan dengan ‘Tahrif’ adalah suatu kekeliruan yang mendasar. Ulama Ahlusunnah memandang adanya nasakh di dalam Al-Qur’an, --- yang tentunya adalah hak prerogatif Allah SWT dan hanya bisa terjadi selama Rasulullah hidup dan atas kewenangannya –bukan suatu distorsi (Tahrif) dan ketidaklengkapan Al-Qur’an.

Nukilan dari Aisyah, Hudzaifah dll, bahwa surah Al-Ahzab aslinya 200 ayat lalu tersisa hanya 73 ayat dalam mushaf Usmani, ditinjau dari sanadnya dhoif. Karena hadis itu diriwayatkan oleh Abu Ubaid (penulis Fadha’il Al-Qur’an) sampai ke Aisyah, yang rawinya Ibnu Lahi’ah dinilai mukhtalit (hafalannya amburadul) setelah kitab-kitabnya hangus terbakar, sehingga sanadnya dhoif/lemah (Mizan Al-I’tidal vol.2/475-477). Demikian pula nukilan dari Ubay ibn Ka’ab bahwa jumlah surah Al-Ahzab setara dengan Al-Baqarah (286 ayat), ternyata seorang rawinya Al-Mubarak ibn Fadhalah adalah mudallis yang dinilai dhoif/lemah, seperti penilaian Abu Dawud dan Abu Zur’ah dalam Al-Mudallisin (vol.1/80). riwayat Aisyah dan Ubay di atas ditempatkan oleh As-Suyuthi dalam kategori nasakh tilawah (lihat hlm.336). Artinya, Suyuthi ingin menegaskan bahwa sisa 127 ayat atau 213 ayat semuanya telah dinasakh bacaan dan hukumnya. Kecuali ayat Rajam yang hukumnya tetap berlaku meski bacaannya telah dinasakh. Inilah yang ditegaskan kembali oleh Al-Bayhaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (vol.8/211), Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani dalam Al-Intishar lil Qur’an (vol.1/406), dan Ibnu Hajar Asqallani dalam Fathul Bari (vol.12/144).

Parahnya, ketidakjujuran itu ditambah lagi ketika menyebut hadis Aisyah yang berkata, “Telah turun ayat rajam dan menyusukan orang yang sudah dewasa sepuluh kali susuan. Dan sudah ada dalam sahifah dibawah tempat tidurku. Ketika Rasulullah wafat, kami sibuk dengan meninggalnya beliau. Masuklah kambing ke dalam dan memakannya”. Penulis memastikan bahwa riwayat itu terdapat di dalam Sunan Ibnu Majah 1: 626 no.1944, Sahih Muslim 4: 167, Sunan Abu Dawud 1: 279, dan lain-lain. Ini mengesankan bahwa semua referensi tersebut menyebutkan riwayat itu sedemikian tanpa perbedaan redaksi sedikitpun. Inilah yang disebut model ‘tadlis’ dalam konteks ilmiah modern.
Memang ada tercantum dalam Sunan Ibnu Majah, dari Muhammad ibn Ishaq dari Abdullah ibn Abi Bakr dari ‘Amrah dari ‘Aisyah, dan dari Abdurrahman ibn Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah berkata, telah turun ayat tentang rajam dan radha’ah (menyusui) orang dewasa dengan 10 kali susuan, sungguh dahulu tertulis di dalam lembaran di bawah tempat tidurku, dan saat Rasulullah saw wafat kami sibuk mengurusi jenazahnya sehingga masuk Dajin (hewan peliharaan seperti kambing atau ayam) dan memakan lembaran ayat itu. Namun, hadits itu munkar dan sama sekali tidak sahih, meski diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Para pakar hadis menjelaskan, ada ‘illat yang merusak sanadnya yaitu pada salah satu rawinya Muhammad ibn Ishaq, yang dinilai mudhtharib (kacau hadisnya).  karena menyelisihi dan menyalahi riwayat para rawi lain yang lebih tsiqoh (terpercaya). Ibnu Majah sendiri ketika meriwayatkan hadis ini dari Muhammad ibn Ishaq menukil dua sanad yang berbeda dari dia.

Perawi lain yang lebih tsiqah seperti Imam Malik dalam Al-Muwattha’ (vol.2/608) dari Abdullah ibn Abi Bakr dari ‘Amrah dari Aisyah, dan Imam Muslim (no.1452) dari Yahya ibn Sa’id dari ‘Amrah dari ‘Aisyah, tidak menyebut ungkapan bahwa lembaran ayat itu dimakan Dajin (kambing atau ayam). Oleh sebab itulah Imam Az-Zaila’i menilai dalam Takhrij Hadis Tafsir Al-Kassyaf bahwa, penambahan redaksi ayat rajam dan radha’ah yang ada di bawah kasur Aisyah lalu dimakan kambing itu adalah rekayasa dan manipulasi perbuatan kaum mulhid (ateis) dan Rafidhah (Syiah).
Penulis juga mengutip satu riwayat Suyuthi dalam Ad-Durr Al-Mantsur 2: 298 yang mengutip dari Ibnu Mardawaih, bahwa Abdullah ibnu Mas’ud ra mengatakan, “Dahulu kami membaca ayat di zaman Rasulullah ‘Ya Ayyuhar Rasul Balligh Ma Unzila Ilayka Min Rabbkai –Anna ‘Aliyyan Mawla al-Mu’minin- wa In Lam Taf’al fa Ma Ballaghta Risalatah’ (Al-Maidah: 67)” (hal.43). Hemat saya, sisipan redaksi yang dinisbatkan kepada Ibnu Mas’ud adalah hasil rekayasa Syi’ah Rafidhah.

Pentahqiq kitab Fath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an karya Shiddiq Hasan Khan al-Qunuji menyatakan bahwa redaksi itu adalah salah satu penyusupan Syi’ah yang semestinya tidak disebutkan sama sekali (vol.4/19). Sama dengan kelakuan Nuri At-Thabarsi, penulis Fashlul Khitab, ia katakan, “Ibnu Mas’ud telah membaca “Innallaha ishthafa adama wa nuhan wa aala Ibrahim wa –aala Muhammad- (keluarga Muhammad) sebagai ganti dari aala Imran” (Fashlul Khithab hlm.113), juga kata mereka, Ibnu Mas’ud membaca, “wa kafallahu al-mu’minin al-Qital –bi ‘Aliyyin ibni Abi Thalib- (dengan Ali bin Abi Thalib) wa kanallahu qawiyyan ‘azizan”. (Fashlul Khithab hlm.114) sebagaimana kata mereka Ibnu Mas’ud membaca ayat “wa rafa’na laka dzikraka –bi ‘Aliyyin shihraka-” (dengan Ali sebagai menantumu). (Fashlul Khithab hlm.115) padahal, dalam daftar qiraat syadzah yang dinisbatkan ulama ahli qiraat kepada Ibnu Mas’ud tidak pernah diriwayatkan model bacaan tahrif semacam itu. Tepatnya, penisbatan itu adalah bentuk iftira’, kadzib, dan pemalsuan Syi’ah terhadap sahabat besar seperti Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.

Hadis 12 Khalifah memang cukup populer dan diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari no.6796 dan Shahih Muslim no.1821 dari Jabir bin Samurah. Selanjutnya, penulis menyatakan, “Hadis tentang 12 khalifah yang melanjutkan Nabi saw hanya dapat dijelaskan dalam keyakinan mazhab Syi’ah. Rasulullah saw menunjuk pengganti atau pelanjut sebanyak 12 orang. Ulama ahlussunnnah kebingungan untuk menjelaskan siapa 12 khalifah tersebut…Dalam kebingungannya, Ibnu Hajar Asqalani menulis, “Aku tidak menemukan seorangpun yang mengetahui secara pasti arti hadis ini”. Aneh juga kalau ahli hadis sebesar Ibnu Hajar tidak memahami arti hadis ini, padahal nama-nama 12 imam diriwayatkan banyak sekali dalam khazanah ahlisunnah.” (hal.54) Ia lalu menyebut nama seorang ulama bernama Al-Qunduzi Al-Hanafi wafat 1294 H menulis kitab Yanabi’ Al-Mawaddah, yang meriwayatkan penunjukan Rasulullah terhadap 12 imam Syi’ah berikut nama-namanya di Bab 76, hal.440.

Hemat pembahas, pertama, penulis buku keliru menisbatkan perkataan “aku tidak menemukan…” kepada Ibnu Hajar sebab setelah dicek ucapan itu adalah perkataan Ibnu Batthal yang mengutip ucapan al-Muhallab, jadi bukan ucapan Ibnu Hajar (lihat Fathul Bari 13: 211). Kedua, penulis berdusta ketika menyatakan bahwa “nama-nama 12 imam diriwayatkan banyak sekali dalam khazanah ahlisunnah” dan menyebut kitab Yanabi’ Al-Mawaddah adalah karya ulama sunni. Mari kita buktikan. Padahal menurut ulama Syi’ah, Agha Bazrak Tahrani, “Kitab tersebut tergolong karya tulis ulama Syi’ah”, lihat al-Dzari’ah ila Tashanif al-Syi’ah (vol.25, hal.290 sumber internet: http://gadir.free.fr/Ar/k/b/b/al_Zaria/marja/al-zariya/index.htm).
Bab 9 Syi’ah Mengkafirkan Semua Sahabat Nabi (hal.76-85)

Penulis menyatakan bahwa keadilan sahabat itu bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Fakta Sejarah, dan Akal Sehat. Sebelumnya ia mengklaim bahwa ahlussunnah memaksumkan para sahabat Nabi (hal.74), tapi tak lama berselang ia mengatakan keadilan sahabat itu bertentangan dengan 4 hal (di hal.76), yang menunjukkan dirinya tidak konsisten menggunakan istilah.
Syubhat yang dilontarkan penulis dalam hal Al-Qur’an dan Sunnah sangat jelas untuk disingkap kerancuan dan kedustaannya. Karena kebencian dan kedengkiannya kepada sahabat Nabi yang juga penghubung ajaran Islam antara Nabi Muhammad saw dengan umatnya, ia secara vulgar dan terang-terangan menghukumi sahabat adalah munafik ketika menyatakan, “Di dalam Al-Qur’an ada banyak ayat yang mengecam sahabat-sahabat Nabi saw, sebuah surah turun khusus untuk membongkar dan mengecam para sahabat Nabi saw. Kita menyebutnya surah At-Tawbah. Nama lainnya adalah al-Fadhihah, al-Muqasyqisyah, dan al-Mu’abbirah.”

Padahal ciri-ciri kemunafikan dan perangai kaum munafik sangat jelas dibedakan dengan kelurusan iman dan akhlak para sahabat Nabi, apalagi jika diasosiasikan label munafik itu kepada para sahabat besar seperti 10 orang yang dijanjikan surga oleh Rasulullah saw, dan sahabat masyhur lainnya seperti Abdullah ibn Mas’ud, Bilal bin Rabah, Hudzaifah ibn al-Yaman dll. Demikian pula disoroti pasukan muslim yang lari dari perang Uhud dalam surah Ali Imran: 153, dan sengaja tidak mengutip ayat 155 dalam surah yang sama yang isinya Allah telah memaafkan mereka. Juga surah al-Jumu’ah: 11 yang turun di awal periode Madinah, sebagian sahabat yang baru mengenal Islam pergi meninggalkan khutbah Rasul, oleh sebab itu turunlah ayat itu untuk mendidik dan mengasah para sahabat Nabi.

Untuk membantah soal keadilan sahabat bertentangan dengan sunnah Nabi dalam hadis al-Haudh (Telaga). Berikut klarifikasinya:
  • Ashhab di hadis itu maknanya adalah kaum munafik seperti yang digambarkan dalam Q.s. al-Munafiqun: 1 dan at-Taubah: 101 yang ada di Madinah dan dikira mereka bagian dari sahabat Nabi padahal bukan, karena Nabi tidak mengetahui perkara ghaib dan batin manusia.
  • Maksudnya adalah orang-orang murtad setelah Nabi wafat karena membangkang dan menolak membayar zakat, serta mengikuti Nabi-Nabi palsu.
  • Maksudnya adalah umat Nabi di akhir zaman, bukan pada masa beliau hidup, karena mereka telah meninggalkan ajaran Al-Qur’an.
  • Tidak dikhususkan untuk sahabat non-ahlibait tapi mencakup semua sahabat termasuk ahlulbait yang mana Ali adalah pemimpin kaum yang dikhitab oleh Allah dengan lafaz ya ayyuhalladzina amanu seperti pengakuan ulama Syi’ah. Lihat Al-Yaqin ila Imarat Amir Al-Mu’minin hal.174-177 dan Bihar Al-Anwar vol.40/20, atau imam-imam Syi’ah menurut Tafsir Al-Burhan ketika menafsirakan Al-Baqarah: 152.
Yang paling mengejutkan kita adalah, keberanian penulis saat mengungkap berbagai data sejarah yang belum jelas validitasnya sebagai “fakta sejarah” yang diyakini pasti benar dan oleh sebab itu diterima. Sayangnya, sebagai intelektual dan diklaim sebagian kalangan sebagai guru besar atau professor, ia tidak menyebutkan satupun referensi, sehingga terkesan asal tuduh dan memfitnah.
Misalkan, ia ‘memfitnah’ (maaf kata ini saya pilih karena memang tidak ada satupun rujukan ilmiah baik primer maupun sekunder mengenai “fakta sejarah” yang ia klaim) para sahabat menentang Rasulullah dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, dan hari Kamis yang tragis.
Berikut ini klarifikasi saya atas ‘fitnah’ murahan penulis dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah:
  • Sahabat tidak menolak perintah Nabi, sebab mereka sangat merindukan Baytullah dan kota kelahiran mereka. Oleh karena itu, mereka menunggu isyarat dari Rasul yang tegas mengenai keharusan tahallul dan membatalkan umrah dengan cara Nabi mencukur rambutnya, atau turun wahyu dari Allah. Yang mereka lakukan adalah menunda sejenak sampai ada isyarat Nabi.
  • Umar ra tidak menolak perintah Nabi, tapi karena kecintaan beliau terhadap agama ini agar tegak dengan izzah. Sementara Ali sendiri, jika diukur dengan tuduhan Syi’ah yang sama kpd sahabat Nabi, tidak mencukur tahallul dan sebelumnya menolak perintah Nabi untuk menghapus frasa ‘Muhammad Rasul Allah’ dalam surat perjanjian Hudaibiyah sehingga Rasul menghapus dengan tangannya sendiri. Dahulu pun saat perang Tabuk, Ali menolak perintah Nabi untuk tinggal di Madinah dan memaksa untuk ikut dalam pasukan Nabi.
Klarifikasi atas hadis tragedi hari Kamis riwayat Abdullah ibnu ‘Abbas ra:
  • Sahabat Nabi tidak menyalahi perintah beliau, tetapi mereka menduga penyakit Nabi sangat memberatkan beliau.
  • Tidak ada petunjuk tegas bahwa sahabat meninggikan suara mereka di hadapan Nabi, tapi dinyatakan bersahut-sahutan di antara mereka sebab perbedaan pendapat mereka tentang maksud permintaan Nabi. Setelah sekian lama perdebatan mereka, Nabi pun membentak mereka yang diduga berselisih, dan tidak melebihi itu.
  • Riwayat itu tidak memastikan siapa yang mengatakan, “Apakah Nabi mengigau?” seperti orang sakit lainnya yang tertekan dengan sakit beratnya. Bisa jadi salah satu sahabat yang bertanya tentang kesehatan Nabi. Orang yang hadir pada saat itu juga tidak ada yang memarahinya, bahkan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk menegur kejadian itu.
  • Jika diasumsikan benar itu adalah perkataan Umar, maka hal itu diucapkan sebagai bentuk keibaan dan rasa kasihan beliau terhadap kondisi Nabi yang terbaring karena sakit keras agar hadirin tidak sibuk berbicara dan menanyakan kepada beliau maksudnya, apalagi Al-Qur’an telah sempurna diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya.
  • Perkara yang hendak diminta oleh Nabi adalah petunjuk arahan perbaikan, bukan sesuatu yang baru dan wajib ditablighkan. Nabi yang maksum tidak mungkin meninggalkan suatu yang wajib secara syariat untuk disampaikan. Setelah berangsur sembuh Nabi tidak pernah memerintahkan ulang untuk menulis kitab tersebut. Itu artinya, perkara yang diperintahkan Nabi itu bukan suatu yang wajib. Ali juga bahkan ikut serta tidak menuruti perintah Nabi untuk menghadirkan pena dan kitab.
  • Jika ditafsirkan bahwa kitab yang akan ditulis Nabi berkaitan dengan penunjukan Ali sehingga disebut hari Tragis (raziyyat yawm al-khamis), justru bertentangan dengan keyakinan Syi’ah bahwa Rasul telah berulang kali mewasiatkan dengan nas yang jelas tentang Ali dalam berbagai peristiwa seperti Tabuk, Ghadirkhum atau bahkan di awal kenabiannya. Jadi untuk apa lagi Nabi berkewajiban untuk menulis kitab tentang Ali jika memang semuanya sudah jelas?! Bersambung..

Comments

Popular posts from this blog

Biografi Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Sikap Positif Bangsa Arab Jahiliyah Sebagai Modal Turunnya Islam di Jazirah Arab

Kekerasan di Kepala Kita