Khusyu'
Khusyu'
Allah befirman tentang khusyu' ini,
"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu' hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?" (Al-Hadid: 16).
Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Selang waktu antara keislaman kami dan teguran Allah terhadap kami hanya selama empat tahun." Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya Allah menganggap lamban hati orang-orang Mukmin. Maka Allah menegur mereka pada penghujung masa selama tiga belas tahun setelah turunnya Al-Qur'an.
Lalu Allah befirman,
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (Al-Mukminun: 1-2).
Khusyu' menurut pengertian bahasa berarti tunduk, rendah dan
tenang, seperti firman Allah, "Dan merendahlah semua suara kepada
Rabb Yang Maha Pemurah". Bumi juga disifati khusyu', yang artinya
kering, tandus dan berupa dataran rendah, yang tidak bisa diairi dan
ditanami. Firman-Nya,
"Dan, sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, bahwa kalian
melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di
atas-nya, niscaya ia bergerak dan subur." (Fushshilat: 39).
Khusyu' artinya keberadaan hati di hadapan Rabb, dalam keadaan tunduk
dan merendah, yang dilakukan secara bersamaan. Ada yang berpendapat,
khusyu'artinya tunduk kepada kebenaran. Tapi ini bukan defi-nisi khusyu',
tapi merupakan keharusannya.
Di antara tanda-tanda khusyu' ialah jika seorang hamba dihadapkan
kepada kebenaran, maka dia menerimanya dan tunduk patuh. Ada yang
berpendapat, khusyu' artinya padamnya api syahwat dan tenangnya asap
dada serta bercahayanya sinar di hati. Al-Junaid berkata, "Khusyu' artinya
ketundukan hati kepada Dzat Yang Maha Mengetahui yang gaib."
Para ulama sepakat bahwa khusyu' itu berada di dalam hati dan hasilnya
ada di anggota tubuh atau anggota tubuhlah yang menampakkan khusyu'
itu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat seseorang yang
mengacak-acak jenggotnya ketika shalat, kemudian beliau bersabda,
"Sekiranya hati orang ini khusyu', tentu anggota tubuhnya juga khusyu'."
Beliau juga pernah bersabda, "Takwa itu ada di sini", sambil menunjuk
ke dada. Beliau melakukannya tiga kali.
Seorang shahabat (Hudzaifah bin Al-Yaman) berkata, "Jauhilah
oleh kalian khusyu' kemunafikan."
Ada yang bertanya, "Apa artinya khusyu' kemunafikan itu?" Dia
menjawab, "Jika engkau melihat tubuh khusyu', tapi hati tidak khusyu'."
Umar bin Al-Khaththab pernah melihat seseorang yang melengkungkan
lehernya tatkala shalat. Maka Umar berkata kepada orang itu,
"Hai pemilik leher, tegakkanlah lehermu, karena khusyu' itu tidak
terletak di leher, tapi di dalam hati."
Aisyah Radhiyallahu Anha pernah melihat sekumpulan pemuda
yang berjalan perlahan-lahan. Dia bertanya kepada orang yang tahu
tentang mereka, "Siapa mereka itu?"
Orang itu menjawab, "Mereka para ahli ibadah." Aisyah berkata,
"Umar bin Al-Khaththab adalah orang yang paling cepat jalannya, jika dia
berbicara aku dapat mendengarnya dari kejauhan, jika memukul benarbenar
menimbulkan rasa sakit dan jika memberi makanan, hingga yang
diberinya kenyang, dan dia adalah ahli ibadah yang sebenarnya."
Al-Fudhail bin Iyadh paling benci melihat seseorang yang menampakkan
khusyu' lebih banyak daripada apa yang ada di dalam hatinya.
Hudzaifah berkata, "Yang pertama kali hilang dari agama kalian adalah
khusyu' dan yang terakhir kali hilang dari agama kalian adalah shalat.
Berapa banyak orang yang mendirikan shalat namun tidak ada kebaikan di
dalamnya. Begitu cepat mereka masuk masjid untuk berjama'ah, namun
engkau tidak melihat seorang pun diantara mereka yang khusyu'."
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Khusyu' adalah ketundukan jiwa
dan kepatuhan tabiat kepada seseorang yang diagungkan atau yang
disegani."
Yang jelas, khusyu' merupakan pengertian yang sejalan dengan
pengagungan, cinta, kepatuhan dan ketundukan. Menurutnya, ada tiga
derajat khusyu':
1. Tunduk kepada perintah, pasrah kepada hukum dan merendah kare-na
melihat kebenaran.
Tunduk kepada perintah berarti menerima, melaksanakan dan mengikuti
perintah, menyelaraskan zhahir dan batin, menampakkan kelemahan,
memperlihatkan kebutuhan terhadap petunjuk pelaksanaan
perintah itu sebelum melaksanakannya, pertolongan saat melaksanakannya
dan penerimaan setelah pelaksanaannya. Pasrah kepada
hukum, artinya hukum-hukum syariat. Dengan kata lain, tidak
menentangnya karena berdasarkan kepada pendapat atau nafsu. Atau
bisa juga diartikan pasrah kepada hukum takdir, dalam pengertian ridha
terhadap takdir dan tidak marah karenanya. Makna yang paling tepat
ialah hukum yang mengandung dua pengertian ini. Merendah karena
melihat kebenaran, artinya hati dan anggota tubuh yang merendahkan
diri karena melihat Allah, bahwa Allah melihat sekecil apa pun yang
ada di dalam hati dan anggota tubuhnya. Ini merupakan salah satu dari
dua penakwilan terhadap firman Allah,
"Dan, bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya, ada dua surga."
(Ar-Rahman: 46).
"Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya." (An-Nazi'at: 40-41).
Ta'wil yang pertama ini merupakan pengetahuan tentang hamba-Nya,
yang berkuasa atas dirinya. Ketakutan hamba terhadap pengetahuan
Rabb-nya ini menimbulkan khusyu'-nya hati. Selagi perasaan ini semakin
kuat, maka khusyu'-nya juga semakin kuat. Ta'wil yang kedua ialah
saat hamba menghadap Rabb-nya, yaitu saat bersua dengan-Nya.
2. Memperhatikan penghambat jiwa dan amal, melihat kelebihan orang
lain atas dirimu, menghembuskan angin kefanaan. Memperhatikan
penghambat jiwa dan amal artinya melihat kekurang-an dan aib jiwa
serta amal, karena yang demikian ini bisa membuat
hati menjadi khusyu’, karena ia melihat kekurangan dan aibnya, seperti
takabur, ujub, riya', tidak jujur, tidak yakin, niat yang bercabang dan
aib-aib jiwa dan perusak amal lainnya.
Melihat kelebihan orang lain atas dirimu artinya memperhatikan hakhak
orang lain atas dirimu lalu engkau harus memenuhinya dan engkau
tidak melihat bahwa apa yang mereka lakukan merupakan hak-mu
atas mereka dan engkau juga tidak menuntut kepada mereka un-tuk
memenuhi hakmu, engkau mengakui kelebihan mereka dan tidak
melupakan kelebihan dirimu sendiri.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Orang yang arif ialah yang
tidak melihat satu hak pun atas seseorang dan tidak memperlihatkan
kelebihannya atas orang lain. Karena itu dia tidak boleh mencela, tidak
menuntut dan tidak membanding-bandingkan." Menghembuskan
angin kefanaan artinya menjadikan derajat ini seperti angin sepoisepoi
menuju kefanaan, yang merupakan kesudahan hidup manusia.
Disebut angin sepoi-sepoi karena kelembutan ruh yang mengalir. Tidak
dapat diragukan bahwa khusyu’ 'merupakan sebab yang menghantarkan
kepada kefanaan.
3. Menjaga kesucian saat mencapai tujuan, membersihkan waktu dari
riya' di hadapan orang lain dan tidak melihat kemuliaan diri sendiri.
Menjaga kesucian saat mencapai tujuan artinya tetap menjaga jiwa
agar tunduk dan merendahkan diri saat mencapai tujuan. Member
sihkan waktu dari riya' di hadapan orang lain artinya tidak hanya
disibukkan oleh usahanya membersihkan waktu dari riya'. Sebab orang
yang memiliki derajat ini lebih tinggi kedudukannya. Dengan kata
lain, dia menyembunyikan keadaan dirinya di hadapan orang lain,
seperti khusyu'-nya dan ketundukannya, agar orang lain tidak
melihatnya lalu membuatnya merasa bangga.
Tidak melihat kelebihan diri sendiri artinya tidak melihat kemuliaan dan
kebaikan dirinya kecuali kebaikan itu datang dari Allah. Hanya Allah-lah
yang memberikan karunia tanpa ada sebab dari dirimu. Tidak ada
pemberi syafaat yang memberinya syafaat dan tidak ada yang menghantarkannya
kepada kebaikan kecuali Allah semata.
Jika ada yang bertanya, "Apa yang kalian katakan tentang shalat yang
dilakukan seseorang tanpa khusyu’', apakah shalat itu dianggap ada
ataukah tidak?"
Dapat dijawab sebagai berikut: Penilaian tentang shalat itu diukur dari
pahala. Jelasnya tidak ada pahala yang diberikan kepada pelakunva
kecuali menurut penghayatan, penelaahan dan khusyu'-nya kepada
Allah.
Ibnu Abbas berkata, "Engkau tidak mendapat pahala dari shalatmu
kecuali menurut apa yang engkau pahami dari bacaannya."
Di dalam Al-Musnad disebutkan secara marfu', "Sesungguhnya hamba
itu benar-benar mendirikan shalat, dan tidak ditetapkan pahala
baginya kecuali separohnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya,
hingga mencapai sepersepuluhnya."
Allah mengaitkan keberuntungan orang-orang yang shalat dengan
khusyu'-nya shalat mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak
khusyu' tidak termasuk orang-orang yang beruntung. Jika dengan shalat
itu ditetapkan pahala baginya, berarti dia termasuk orang-orang yang
beruntung.
Kaitannya dengan hukum di dunia, jika khusyu'-nya itu lebih ba-nyak,
maka shalatnya dianggap sah. Shalat-shalat sunat sebelum dan sesudahnya
serta dzikir sesudahnya menyempurnakan kekurangannya. Jika
yang lebih banyak adalah tidak khusyu'-nya dan juga tidak memahaminya,
maka ada perbedaan pendapat tentang pengulangannya di kalangan
fuqaha'. Ada yang mewajibkannya, seperti Abdullah bin Hamid dan
rekan-rekan Ahmad serta Al-Ghazaly di dalam Ihya'-nya.
Mereka berhuj ah, karena shalat itu tidak mendapat pahala dan tidak
mendatangkan keberuntungan. Karena khusyu'dan memahami itu
meru-pakan ruh, inti dan tujuan shalat, maka bagaimana mungkin
shalat dianggap sah jika kehilangan ruh dan intinya, hanya tinggal rupa
dan zha-hirnya?
Sekiranya hamba meninggalkan salah satu kewajiban shalat secara
sengaja, berarti dia membatalkan shalatnya. Sebagian kewajiban yang
ditinggalkan ini seperti salah satu anggota tubuh seorang budak yang
dimerdekakan dalam kafarat. Bagaimana dengan shalat yang kehilangan
ruh, inti dan tujuannya? Hal ini tidak jauh berbeda dengan memerdekakan
budak yang putus tangannya, sebagai kafarat yang wajib dilakukan.
Yangdemikian ini belum dianggap sah, terlebihlagi jika budak yang dimerdekakan
itu sudah mati.
Di antara orang salaf ada yang berkata, "Shalat itu bagaikan budak
perempuan yang dihadiahkan kepada seorang raja. Apa pendapatmu tentang
orang yang menghadiahkan kepada raja itu seorang budak perempuan
yang cacat, buta, tidak mempunyai tangan dan kaki, sakit atau buruk
rupanya? Bagaimana dengan shalat yang dihadiahkan hamba dan dijadikan
sarana untuk mendekatkan diri kepada Rabb-nya? Sesungguhnya Allah
itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik. Tentu saja shalat
yang tidak mempunyai ruh bukan termasuk amal yang baik, sebagaimana
bukan termasuk pembebasan budak yang baik dalam kafarat, jika budak
yang dipilih adalah cacat atau bahkan mati tanpa ruh."
Di dalam riwayat At-Tirmidzy dan juga lainnya, ada hadits yang
dimarfu'kan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya
Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai." Hal ini berlaku
untuk doa yang bersifat khusus, yaitu doa ibadah, atau yang bersifat
umum, yaitu doa yang berupa permohonan. Jika maksudnya adalah doa
berupa permohonan, maka doa ibadah jauh lebih layak untuk tidak
dikabulkan, yang merupakan hak Allah untuk menolak doa dari hati
yang lalai. Allah telah befirman,
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dalam shalatnya." (Al-Ma'un: 4-5).
Lalai disini bukan berarti meninggalkan. Jika tidak, tentunya mereka
tidak disebut orang-orang yang shalat. Berarti maksudnya melalaikan
kewajibannya, entah yang berkaitan dengan waktu seperti yang dikatakan
Ibnu Mas'ud dan lain-lainnya, entah yang berkaitan dengan kehadiran
hati dan khusyu'. Namun yang benar adalah dua-duanya. Allah mengakui
shalat mereka dan mensifati mereka sebagai orang-orang yang
lalai dari shalat itu, yaitu lalai dari waktu yang diwajibkan atau lalai dari
keikhlasan dan kehadiran hati. Karena itu Allah mensifati mereka dengan
riya' setelah itu. Andaikata lalai itu memang berarti lalai, tentunya mereka
dibiarkan dengan riya'nya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kegunaan ikhlas dan kehadiran
hati bersama Allah dalam shalat lebih kuat dalam pandangan Pem-buat
syariat daripada kegunaan semua kewajiban-kewajibannya. Bagai-mana
mungkin ada orang yang menganggap shalat tidak sah karena dia
meninggalkan salah satu takbirnya, meninggalkan satu huruf dalam bacaannya,
tidak bertasbih, tidak mengucapkan sami'allahu liman hamidah,
tidak mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
kemudian dia menganggap shalat itu sah padahal kehilangan inti,
ruh, rahasia dan maksudnya yang paling besar?
Inilah beberapa hujjah yang diajukan golongan ini. Memang ini
merupakan hujjah yang cukup realistis dan kuat. Tapi kita perlu menyimak
pendapat golongan kedua dan hujjah-hujjahnya.
Golongan kedua ini berpendapat, shalat itu tetap dianggap sah dan tidak
perlu mengulanginya. Dalam hal ini telah diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam Ash-Shahih, beliau bersabda,
"Jika mu'adzin menyerukan adzan, maka syetan menyingkir sambil terkentut-
kentut hingga tidak mendengar suara adzan. jka suara adzan sudah
selesai, maka syetan datang lagi. jika iqamat diserukan, maka dia
menyingkir lagi, dan jika iqamat sudah selesai, maka dia datang lagi,
hingga ia berada di antara seseorang dan jiwanya, lalu ia
mengingatkannya sesuatu yang tadinya tidak dia ingat. Syetan berkata,
'Ingatlah ini, ingatlah itu!' Padahal sebelumnya dia tidak mengingat-nya,
sampai akhirnya seseorang tidak tahu sudah berapa rakaat dia shalat. Jika
salah seorang di antara kalian mengalami yang demikian ini, maka
hendaklah dia sujud dua kali sujud saat dia duduk (tasyahhud akhir)."
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang
melakukan shalat semacam ini, yang telah dilalaikan syetan hingga tidak
tahu sudah berapa rakaat dia shalat, untuk melakukan sujud sahwi dua
kali sujud. Beliau tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.
Andaikan shalat itu batal seperti pendapat golongan yang pertama, tentunya
beliau memerintahkan untuk mengulanginya.
Inilah rahasia disyariatkannya sujud sahwi, sebagai penghinaan bagi
syetan, karena ia telah membisiki hamba dan menjadi penghalang
antara dirinya dan khusyu' dalam shalat. Karena itu Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebut dua sujud sahwi ini
muraghamatain (dua kali penghinaan), dan beliau memerintahkan
melakukan dua sujud sahwi ini bagi yang lalai. Beliau tidak merinci
kelalaian yang terjadi, entah sedikit entah banyak, yang
mengharuskannya sujud sahwi. Beliau hanya bersabda, "Setiap
kelalaian dilakukan dua sujud sahwi."
Karena syariat-syariat Islam didasarkan kepada perbuatan-perbuatan
yang nyata, sedangkan hakikat-hakikat iman didasarkan kepada hal-hal
yang batin, yang karenanya ada pahala dan siksa, maka Allah mempunyai
dua hukum: Hukum di dunia yang didasarkan kepada syariatsyariat
zhahir dan amal-amal anggota tubuh, dan hukum di akhirat
yang didasarkan kepada syariat-syariat yang zhahir dan amal-amal batin.
Maka dari itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menerima apa yang
ditampakkan orang-orang munafik, sedangkan apa yang mereka
sembunyikan di dalam batin diserahkan kepada Allah. Karena itu
mereka juga menikah, waris-mewarisi menurut syariat Islam dan shalat
mereka tetap dianggap sah menurut hukum di dunia. Mereka
tidakdihukumi sebagai orang-orang yang meninggalkan shalat, karena
memang mereka melakukannya menurut zhahirnya. Hukum pahala dan
siksa bukan di tangan manusia, tapi ada di Tangan Allah. Allahlah
yang akan menanganinya di akhirat.
Masih menurut golongan ini, dalam hukum syariat Islam kami raenetapkan
keabsahan shalatnya orang munafik dan riya', sekalipun siksaan
atas dirinya tidak gugur dan dia pun tidak mendapatkan pahala di
akhirat. Maka shalatnya orang Muslim yang lalai dan dibisiki syetan,
sehingga mengurangi kesempurnaannya karena tidak ada khusyu', lebih
layak untuk dianggap sah.
Memang shalat orang yang lalai ini tidak menghasilkan tujuan dari
shalat, yaitu pahala Allah di dunia dan di akhirat. Shalat mempunyai tambahan
pahala di dunia, berupa kekuatan iman di dalam hati, cahaya,
kelapangan di dada, manisnya ibadah, kesenangan, kegembiraan dan
kenikmatan, yang bisa dirasakan orang yang menghimpun hasrat dan
hatinya bersama Allah, menghadirkan hatinya di hadapan-Nya, seperti
perasaan manusia saat didekati raja dan mendapat perhatiannya secara
khusus. Yang demikian ini ditambah lagi dengan derajat yang tinggi
di akhirat, hidup berdekatan dengan orang-orang yang taqarrub
kepada Allah. Tapi semua ini tidak didapatkan jika tidak ada kehadiran
hati dan khusyu'. Dua orang yang berdiri berdampingan di satu shaff,
tapi perbe-daan shalat di antara keduanya bisa seperti langit dan bumi.
Pendapat golongan yang kedua ini lebih kuat dan lebih benar, namun
Allahlah yang lebih tahu.
Allah befirman tentang khusyu' ini,
"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu' hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?" (Al-Hadid: 16).
Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Selang waktu antara keislaman kami dan teguran Allah terhadap kami hanya selama empat tahun." Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya Allah menganggap lamban hati orang-orang Mukmin. Maka Allah menegur mereka pada penghujung masa selama tiga belas tahun setelah turunnya Al-Qur'an.
Lalu Allah befirman,
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (Al-Mukminun: 1-2).
Khusyu' menurut pengertian bahasa berarti tunduk, rendah dan
tenang, seperti firman Allah, "Dan merendahlah semua suara kepada
Rabb Yang Maha Pemurah". Bumi juga disifati khusyu', yang artinya
kering, tandus dan berupa dataran rendah, yang tidak bisa diairi dan
ditanami. Firman-Nya,
"Dan, sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, bahwa kalian
melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di
atas-nya, niscaya ia bergerak dan subur." (Fushshilat: 39).
Khusyu' artinya keberadaan hati di hadapan Rabb, dalam keadaan tunduk
dan merendah, yang dilakukan secara bersamaan. Ada yang berpendapat,
khusyu'artinya tunduk kepada kebenaran. Tapi ini bukan defi-nisi khusyu',
tapi merupakan keharusannya.
Di antara tanda-tanda khusyu' ialah jika seorang hamba dihadapkan
kepada kebenaran, maka dia menerimanya dan tunduk patuh. Ada yang
berpendapat, khusyu' artinya padamnya api syahwat dan tenangnya asap
dada serta bercahayanya sinar di hati. Al-Junaid berkata, "Khusyu' artinya
ketundukan hati kepada Dzat Yang Maha Mengetahui yang gaib."
Para ulama sepakat bahwa khusyu' itu berada di dalam hati dan hasilnya
ada di anggota tubuh atau anggota tubuhlah yang menampakkan khusyu'
itu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat seseorang yang
mengacak-acak jenggotnya ketika shalat, kemudian beliau bersabda,
"Sekiranya hati orang ini khusyu', tentu anggota tubuhnya juga khusyu'."
Beliau juga pernah bersabda, "Takwa itu ada di sini", sambil menunjuk
ke dada. Beliau melakukannya tiga kali.
Seorang shahabat (Hudzaifah bin Al-Yaman) berkata, "Jauhilah
oleh kalian khusyu' kemunafikan."
Ada yang bertanya, "Apa artinya khusyu' kemunafikan itu?" Dia
menjawab, "Jika engkau melihat tubuh khusyu', tapi hati tidak khusyu'."
Umar bin Al-Khaththab pernah melihat seseorang yang melengkungkan
lehernya tatkala shalat. Maka Umar berkata kepada orang itu,
"Hai pemilik leher, tegakkanlah lehermu, karena khusyu' itu tidak
terletak di leher, tapi di dalam hati."
Aisyah Radhiyallahu Anha pernah melihat sekumpulan pemuda
yang berjalan perlahan-lahan. Dia bertanya kepada orang yang tahu
tentang mereka, "Siapa mereka itu?"
Orang itu menjawab, "Mereka para ahli ibadah." Aisyah berkata,
"Umar bin Al-Khaththab adalah orang yang paling cepat jalannya, jika dia
berbicara aku dapat mendengarnya dari kejauhan, jika memukul benarbenar
menimbulkan rasa sakit dan jika memberi makanan, hingga yang
diberinya kenyang, dan dia adalah ahli ibadah yang sebenarnya."
Al-Fudhail bin Iyadh paling benci melihat seseorang yang menampakkan
khusyu' lebih banyak daripada apa yang ada di dalam hatinya.
Hudzaifah berkata, "Yang pertama kali hilang dari agama kalian adalah
khusyu' dan yang terakhir kali hilang dari agama kalian adalah shalat.
Berapa banyak orang yang mendirikan shalat namun tidak ada kebaikan di
dalamnya. Begitu cepat mereka masuk masjid untuk berjama'ah, namun
engkau tidak melihat seorang pun diantara mereka yang khusyu'."
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Khusyu' adalah ketundukan jiwa
dan kepatuhan tabiat kepada seseorang yang diagungkan atau yang
disegani."
Yang jelas, khusyu' merupakan pengertian yang sejalan dengan
pengagungan, cinta, kepatuhan dan ketundukan. Menurutnya, ada tiga
derajat khusyu':
1. Tunduk kepada perintah, pasrah kepada hukum dan merendah kare-na
melihat kebenaran.
Tunduk kepada perintah berarti menerima, melaksanakan dan mengikuti
perintah, menyelaraskan zhahir dan batin, menampakkan kelemahan,
memperlihatkan kebutuhan terhadap petunjuk pelaksanaan
perintah itu sebelum melaksanakannya, pertolongan saat melaksanakannya
dan penerimaan setelah pelaksanaannya. Pasrah kepada
hukum, artinya hukum-hukum syariat. Dengan kata lain, tidak
menentangnya karena berdasarkan kepada pendapat atau nafsu. Atau
bisa juga diartikan pasrah kepada hukum takdir, dalam pengertian ridha
terhadap takdir dan tidak marah karenanya. Makna yang paling tepat
ialah hukum yang mengandung dua pengertian ini. Merendah karena
melihat kebenaran, artinya hati dan anggota tubuh yang merendahkan
diri karena melihat Allah, bahwa Allah melihat sekecil apa pun yang
ada di dalam hati dan anggota tubuhnya. Ini merupakan salah satu dari
dua penakwilan terhadap firman Allah,
"Dan, bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya, ada dua surga."
(Ar-Rahman: 46).
"Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya." (An-Nazi'at: 40-41).
Ta'wil yang pertama ini merupakan pengetahuan tentang hamba-Nya,
yang berkuasa atas dirinya. Ketakutan hamba terhadap pengetahuan
Rabb-nya ini menimbulkan khusyu'-nya hati. Selagi perasaan ini semakin
kuat, maka khusyu'-nya juga semakin kuat. Ta'wil yang kedua ialah
saat hamba menghadap Rabb-nya, yaitu saat bersua dengan-Nya.
2. Memperhatikan penghambat jiwa dan amal, melihat kelebihan orang
lain atas dirimu, menghembuskan angin kefanaan. Memperhatikan
penghambat jiwa dan amal artinya melihat kekurang-an dan aib jiwa
serta amal, karena yang demikian ini bisa membuat
hati menjadi khusyu’, karena ia melihat kekurangan dan aibnya, seperti
takabur, ujub, riya', tidak jujur, tidak yakin, niat yang bercabang dan
aib-aib jiwa dan perusak amal lainnya.
Melihat kelebihan orang lain atas dirimu artinya memperhatikan hakhak
orang lain atas dirimu lalu engkau harus memenuhinya dan engkau
tidak melihat bahwa apa yang mereka lakukan merupakan hak-mu
atas mereka dan engkau juga tidak menuntut kepada mereka un-tuk
memenuhi hakmu, engkau mengakui kelebihan mereka dan tidak
melupakan kelebihan dirimu sendiri.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Orang yang arif ialah yang
tidak melihat satu hak pun atas seseorang dan tidak memperlihatkan
kelebihannya atas orang lain. Karena itu dia tidak boleh mencela, tidak
menuntut dan tidak membanding-bandingkan." Menghembuskan
angin kefanaan artinya menjadikan derajat ini seperti angin sepoisepoi
menuju kefanaan, yang merupakan kesudahan hidup manusia.
Disebut angin sepoi-sepoi karena kelembutan ruh yang mengalir. Tidak
dapat diragukan bahwa khusyu’ 'merupakan sebab yang menghantarkan
kepada kefanaan.
3. Menjaga kesucian saat mencapai tujuan, membersihkan waktu dari
riya' di hadapan orang lain dan tidak melihat kemuliaan diri sendiri.
Menjaga kesucian saat mencapai tujuan artinya tetap menjaga jiwa
agar tunduk dan merendahkan diri saat mencapai tujuan. Member
sihkan waktu dari riya' di hadapan orang lain artinya tidak hanya
disibukkan oleh usahanya membersihkan waktu dari riya'. Sebab orang
yang memiliki derajat ini lebih tinggi kedudukannya. Dengan kata
lain, dia menyembunyikan keadaan dirinya di hadapan orang lain,
seperti khusyu'-nya dan ketundukannya, agar orang lain tidak
melihatnya lalu membuatnya merasa bangga.
Tidak melihat kelebihan diri sendiri artinya tidak melihat kemuliaan dan
kebaikan dirinya kecuali kebaikan itu datang dari Allah. Hanya Allah-lah
yang memberikan karunia tanpa ada sebab dari dirimu. Tidak ada
pemberi syafaat yang memberinya syafaat dan tidak ada yang menghantarkannya
kepada kebaikan kecuali Allah semata.
Jika ada yang bertanya, "Apa yang kalian katakan tentang shalat yang
dilakukan seseorang tanpa khusyu’', apakah shalat itu dianggap ada
ataukah tidak?"
Dapat dijawab sebagai berikut: Penilaian tentang shalat itu diukur dari
pahala. Jelasnya tidak ada pahala yang diberikan kepada pelakunva
kecuali menurut penghayatan, penelaahan dan khusyu'-nya kepada
Allah.
Ibnu Abbas berkata, "Engkau tidak mendapat pahala dari shalatmu
kecuali menurut apa yang engkau pahami dari bacaannya."
Di dalam Al-Musnad disebutkan secara marfu', "Sesungguhnya hamba
itu benar-benar mendirikan shalat, dan tidak ditetapkan pahala
baginya kecuali separohnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya,
hingga mencapai sepersepuluhnya."
Allah mengaitkan keberuntungan orang-orang yang shalat dengan
khusyu'-nya shalat mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak
khusyu' tidak termasuk orang-orang yang beruntung. Jika dengan shalat
itu ditetapkan pahala baginya, berarti dia termasuk orang-orang yang
beruntung.
Kaitannya dengan hukum di dunia, jika khusyu'-nya itu lebih ba-nyak,
maka shalatnya dianggap sah. Shalat-shalat sunat sebelum dan sesudahnya
serta dzikir sesudahnya menyempurnakan kekurangannya. Jika
yang lebih banyak adalah tidak khusyu'-nya dan juga tidak memahaminya,
maka ada perbedaan pendapat tentang pengulangannya di kalangan
fuqaha'. Ada yang mewajibkannya, seperti Abdullah bin Hamid dan
rekan-rekan Ahmad serta Al-Ghazaly di dalam Ihya'-nya.
Mereka berhuj ah, karena shalat itu tidak mendapat pahala dan tidak
mendatangkan keberuntungan. Karena khusyu'dan memahami itu
meru-pakan ruh, inti dan tujuan shalat, maka bagaimana mungkin
shalat dianggap sah jika kehilangan ruh dan intinya, hanya tinggal rupa
dan zha-hirnya?
Sekiranya hamba meninggalkan salah satu kewajiban shalat secara
sengaja, berarti dia membatalkan shalatnya. Sebagian kewajiban yang
ditinggalkan ini seperti salah satu anggota tubuh seorang budak yang
dimerdekakan dalam kafarat. Bagaimana dengan shalat yang kehilangan
ruh, inti dan tujuannya? Hal ini tidak jauh berbeda dengan memerdekakan
budak yang putus tangannya, sebagai kafarat yang wajib dilakukan.
Yangdemikian ini belum dianggap sah, terlebihlagi jika budak yang dimerdekakan
itu sudah mati.
Di antara orang salaf ada yang berkata, "Shalat itu bagaikan budak
perempuan yang dihadiahkan kepada seorang raja. Apa pendapatmu tentang
orang yang menghadiahkan kepada raja itu seorang budak perempuan
yang cacat, buta, tidak mempunyai tangan dan kaki, sakit atau buruk
rupanya? Bagaimana dengan shalat yang dihadiahkan hamba dan dijadikan
sarana untuk mendekatkan diri kepada Rabb-nya? Sesungguhnya Allah
itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik. Tentu saja shalat
yang tidak mempunyai ruh bukan termasuk amal yang baik, sebagaimana
bukan termasuk pembebasan budak yang baik dalam kafarat, jika budak
yang dipilih adalah cacat atau bahkan mati tanpa ruh."
Di dalam riwayat At-Tirmidzy dan juga lainnya, ada hadits yang
dimarfu'kan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya
Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai." Hal ini berlaku
untuk doa yang bersifat khusus, yaitu doa ibadah, atau yang bersifat
umum, yaitu doa yang berupa permohonan. Jika maksudnya adalah doa
berupa permohonan, maka doa ibadah jauh lebih layak untuk tidak
dikabulkan, yang merupakan hak Allah untuk menolak doa dari hati
yang lalai. Allah telah befirman,
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dalam shalatnya." (Al-Ma'un: 4-5).
Lalai disini bukan berarti meninggalkan. Jika tidak, tentunya mereka
tidak disebut orang-orang yang shalat. Berarti maksudnya melalaikan
kewajibannya, entah yang berkaitan dengan waktu seperti yang dikatakan
Ibnu Mas'ud dan lain-lainnya, entah yang berkaitan dengan kehadiran
hati dan khusyu'. Namun yang benar adalah dua-duanya. Allah mengakui
shalat mereka dan mensifati mereka sebagai orang-orang yang
lalai dari shalat itu, yaitu lalai dari waktu yang diwajibkan atau lalai dari
keikhlasan dan kehadiran hati. Karena itu Allah mensifati mereka dengan
riya' setelah itu. Andaikata lalai itu memang berarti lalai, tentunya mereka
dibiarkan dengan riya'nya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kegunaan ikhlas dan kehadiran
hati bersama Allah dalam shalat lebih kuat dalam pandangan Pem-buat
syariat daripada kegunaan semua kewajiban-kewajibannya. Bagai-mana
mungkin ada orang yang menganggap shalat tidak sah karena dia
meninggalkan salah satu takbirnya, meninggalkan satu huruf dalam bacaannya,
tidak bertasbih, tidak mengucapkan sami'allahu liman hamidah,
tidak mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
kemudian dia menganggap shalat itu sah padahal kehilangan inti,
ruh, rahasia dan maksudnya yang paling besar?
Inilah beberapa hujjah yang diajukan golongan ini. Memang ini
merupakan hujjah yang cukup realistis dan kuat. Tapi kita perlu menyimak
pendapat golongan kedua dan hujjah-hujjahnya.
Golongan kedua ini berpendapat, shalat itu tetap dianggap sah dan tidak
perlu mengulanginya. Dalam hal ini telah diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam Ash-Shahih, beliau bersabda,
"Jika mu'adzin menyerukan adzan, maka syetan menyingkir sambil terkentut-
kentut hingga tidak mendengar suara adzan. jka suara adzan sudah
selesai, maka syetan datang lagi. jika iqamat diserukan, maka dia
menyingkir lagi, dan jika iqamat sudah selesai, maka dia datang lagi,
hingga ia berada di antara seseorang dan jiwanya, lalu ia
mengingatkannya sesuatu yang tadinya tidak dia ingat. Syetan berkata,
'Ingatlah ini, ingatlah itu!' Padahal sebelumnya dia tidak mengingat-nya,
sampai akhirnya seseorang tidak tahu sudah berapa rakaat dia shalat. Jika
salah seorang di antara kalian mengalami yang demikian ini, maka
hendaklah dia sujud dua kali sujud saat dia duduk (tasyahhud akhir)."
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang
melakukan shalat semacam ini, yang telah dilalaikan syetan hingga tidak
tahu sudah berapa rakaat dia shalat, untuk melakukan sujud sahwi dua
kali sujud. Beliau tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.
Andaikan shalat itu batal seperti pendapat golongan yang pertama, tentunya
beliau memerintahkan untuk mengulanginya.
Inilah rahasia disyariatkannya sujud sahwi, sebagai penghinaan bagi
syetan, karena ia telah membisiki hamba dan menjadi penghalang
antara dirinya dan khusyu' dalam shalat. Karena itu Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebut dua sujud sahwi ini
muraghamatain (dua kali penghinaan), dan beliau memerintahkan
melakukan dua sujud sahwi ini bagi yang lalai. Beliau tidak merinci
kelalaian yang terjadi, entah sedikit entah banyak, yang
mengharuskannya sujud sahwi. Beliau hanya bersabda, "Setiap
kelalaian dilakukan dua sujud sahwi."
Karena syariat-syariat Islam didasarkan kepada perbuatan-perbuatan
yang nyata, sedangkan hakikat-hakikat iman didasarkan kepada hal-hal
yang batin, yang karenanya ada pahala dan siksa, maka Allah mempunyai
dua hukum: Hukum di dunia yang didasarkan kepada syariatsyariat
zhahir dan amal-amal anggota tubuh, dan hukum di akhirat
yang didasarkan kepada syariat-syariat yang zhahir dan amal-amal batin.
Maka dari itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menerima apa yang
ditampakkan orang-orang munafik, sedangkan apa yang mereka
sembunyikan di dalam batin diserahkan kepada Allah. Karena itu
mereka juga menikah, waris-mewarisi menurut syariat Islam dan shalat
mereka tetap dianggap sah menurut hukum di dunia. Mereka
tidakdihukumi sebagai orang-orang yang meninggalkan shalat, karena
memang mereka melakukannya menurut zhahirnya. Hukum pahala dan
siksa bukan di tangan manusia, tapi ada di Tangan Allah. Allahlah
yang akan menanganinya di akhirat.
Masih menurut golongan ini, dalam hukum syariat Islam kami raenetapkan
keabsahan shalatnya orang munafik dan riya', sekalipun siksaan
atas dirinya tidak gugur dan dia pun tidak mendapatkan pahala di
akhirat. Maka shalatnya orang Muslim yang lalai dan dibisiki syetan,
sehingga mengurangi kesempurnaannya karena tidak ada khusyu', lebih
layak untuk dianggap sah.
Memang shalat orang yang lalai ini tidak menghasilkan tujuan dari
shalat, yaitu pahala Allah di dunia dan di akhirat. Shalat mempunyai tambahan
pahala di dunia, berupa kekuatan iman di dalam hati, cahaya,
kelapangan di dada, manisnya ibadah, kesenangan, kegembiraan dan
kenikmatan, yang bisa dirasakan orang yang menghimpun hasrat dan
hatinya bersama Allah, menghadirkan hatinya di hadapan-Nya, seperti
perasaan manusia saat didekati raja dan mendapat perhatiannya secara
khusus. Yang demikian ini ditambah lagi dengan derajat yang tinggi
di akhirat, hidup berdekatan dengan orang-orang yang taqarrub
kepada Allah. Tapi semua ini tidak didapatkan jika tidak ada kehadiran
hati dan khusyu'. Dua orang yang berdiri berdampingan di satu shaff,
tapi perbe-daan shalat di antara keduanya bisa seperti langit dan bumi.
Pendapat golongan yang kedua ini lebih kuat dan lebih benar, namun
Allahlah yang lebih tahu.
Comments
Post a Comment