Pendekar Al-Azhar Mulai Beraksi

Hampir tiga tahun lalu, pada Desember 2007,  dalam CAP ke-218 kita membahas tentang kedatangan “Para Pendekar al-Azhar”.  Yang kita sambut kedatangannya ketika itu adalah Fahmy Salim Zubair MA. Ia lulus sebagai master dalam bidang tafsir di Universitas al-Azhar Kairo, pada 4 Desember 2007.  Fahmi Salim dinyatakan lulus dengan predikat Summa  Cum Laude (Penghargaan Tingkat Pertama), setelah berhasil mempertahankan Tesis-nya yang berjudul “KHITHABAT DA’WA FALSAFAT AL-TA’WIL AL-HERMENUTHIQI LI AL-QURAN; ‘ARDL WA NAQD” (Studi analitis-kritis diskursus filsafat Hermeneutika Al-Quran). 
 
Fahmi menyelesaikan tesisnya di bawah bimbingan dua guru besar Tafsir dan Ilmu-ilmu al-Quran, yaitu Prof. Dr. Abdul Hayyi Husein Al-Farmawi  dan Prof. Dr. Abdul Badi’ Abu Hasyim.  Adapun para penguji tesis Fahmi Salim adalah:  Prof. Dr. Salim Abdul Kholik Abdul Hamid (Guru besar Tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran) dan  Prof. Dr.  Ali Hasan Sulaiman (Guru besar dan Ketua Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran, Fakultas Dirasat Islamiyah, Univ. Al-Azhar).
Tesis Fahmy Salim itu sekarang sudah terbit menjadi sebuah buku berjudul “Kritik terhadap Studi al-Quran kaum Liberal” (Jakarta: GIP, 2010). Buku ini membedah model pemahaman teks ala Barat yang menjadi “alat buldoser” paling efektif dalam upaya sekularisasi dan liberalisasi masyarakat muslim.  Di tangan para pemasok dan pengecer paham sekularisme dan liberalisme, penggunaan metode hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur’an digunakan untuk menggusur ajaran-ajaran Islam yang baku dan permanen (tsawabit), agar compatible dengan pandangan alam (worldview) dan nilai-nilai modernitas Barat sekuler yang ingin disemaikan ke tengah-tengah umat Islam.
 
Menurut penulis, ia tertarik mengkaji masalah hermeneutika tersebut, semenjak digelindingkannya upaya sistematis untuk meliberalkan kurikulum ‘Islamic Studies’ di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Sederet nama para penganjur dan pengaplikasi hermeneutika untuk studi Islam tiba-tiba menjadi super stars dalam kajian Islam di Perguruan Tinggi Islam Indonesia.  Sebut saja misalnya: Hassan Hanafi (hermeneutika-fenomenologi), Nasr Hamid Abu Zayd (hermeneutika sastra kritis), Mohammad Arkoun (hermeneutika-antropologi nalar Islam), Fazlur Rahman (hermeneutika double movement), Fatima Mernissi-Riffat Hassan-Amina A. Wadud (hermeneutika gender), Muhammad Syahrur (hermeneutika  linguistik fiqih perempuan), dan lain-lain yang cukup sukses membius mahasiswa dan para dosen di lingkungan Perguruan Tinggi Islam  di Indonesia baik negeri maupun swasta, hingga kini.
 
Bahkan beberapa tahun silam,  munculnya Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam yang merombak dan melucuti banyak aspek-aspek yang qath’i dalam sistem hukum Islam —  meski telah ditolak dan digagalkan —  telah mengindikasikan suatu upaya serius untuk menjadikan produk tafsir hukum ala hermeneutika ini sebagai produk hukum Islam positif yang mengikat seluruh umat Islam di tanah air. Itulah salah satu dampak terburuk dari tafsir model hermeneutika ini yang berkaitan dengan hajat hidup umat Islam Indonesia dalam soal pernikahan, perceraian, pembagian harta waris, pengasuhan anak, dan lain-lain.
 
Sebagaimana layaknya seorang pendekar turun gunung, Fahmy Salim, yang belum lama ini melangsungkan pernikahannya, telah berkeliling ke berbagai daerah dan keluar masuk kampus untuk menjelaskan kekeliruan penggunaan hermeneutika untuk menafsirkan al-Quran. Bahkan, belum lama ini, Prof. Dr. Abdul Hayyi Husein Al-Farmawi, datang langsung dari Kairo ke Jakarta, untuk menghadiri peluncuran buku Fahmy Salim tersebut, di Masjid al-Hakim, Jalan Menteng Raya Jakarta. 
Prof. Farmawi tampak sangat bangga dengan prestasi yang dicapai muridnya tersebut. Ia bahkan membuat pengakuan: “Saya pribadi betul-betul telah mendapatkan banyak sekali pencerahan dari tesis tersebut yang melebihi karya-karya akademis lain di tingkat S2 dan S3 yang pernah saya bimbing dan ujikan selama ini.”  
 
Menurut Fahmy, dewasa ini, gagasan dan tuntutan untuk melakukan pembacaan sekaligus pemaknaan ulang teks-teks primer agama Islam disuarakan dengan lantang. Tujuannya adalah agar teks-teks primer Islam, yang telah menjadi pedoman dan panduan lebih dari satu milyar umat Islam, dapat ditundukkan untuk mengikuti irama nilai-nilai modernitas sekuler yang didiktekan dalam berbagai bidang.
 
Seruan itu disuarakan serempak oleh para pemikir liberal baik di Timur-Tengah maupun di belahan lain dunia Islam, termasuk Indonesia. Berbagai seminar, workshop dan penerbitan buku hasil kajian dan penelitian digiatkan secara efektif untuk mengkampanyekan betapa mendesaknya “pembacaan kritis” dan “pemaknaan baru” teks-teks al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Berbagai produk olahan isu-isu pemikiran yang diimpor dari Barat seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, dan pengarusutamaan gender telah menjadi menu sajian yang menggoda untuk dihidangkan kepada komunitas muslim.
“Kita patut curiga dan bertanya: apakah tidak sebaiknya upaya pembacaan dan pemaknaan ulang wacana agama itu diarahkan sebagai pembaruan metode dakwah Islam dan revitalisasi sarana-sarana pendukungnya di era kontemporer ini, sesuai dengan perkembangan zaman? Kita sangat memerlukan pemikiran segar dan cemerlang untuk mendakwahkan prinsip-prinsip dan pandangan hidup Islam dengan metode yang cocok dengan kemajuan zaman. Jika ini yang terjadi, maka kita dengan senang hati menyambut seruan itu,” ujarnya.
 
Namun, menurut Fahmy, kadangkala yang terjadi bukan seperti itu.  Di lapangan, yang terjadi adalah adanya upaya untuk mengkaji ulang bahkan sampai pada taraf mengubah prinsip dan pokok-pokok agama dengan dalih keluar dari kungkungan ideologis nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah, membatalkan keabsolutan nash Al-Qur’an dengan analisa historisitas teks atau relativisme teks. Juga, juga dibagian lain mereka ingin melakukan studi kritik literatur dan sejarah seperti yang dipraktekkan kalangan liberal Yahudi dan Kristen atas Bible sejak tiga abad silam. Bahkan,  ada yang terang-terangan memunculkan pandangan bahwa nash Al-Qur’an dan Sunnah telah out of date dan hanya menghalangi proses integrasi umat Islam dengan nilai-nilai globalisasi kontemporer. “Jika seperti ini yang terjadi di lapangan pemikiran, maka logika semacam ini harus ditolak mentah-mentah, baik keseluruhan maupun rinciannya,” kata Fahmy.
Melihat fakta semacam itu, Fahmy mengaku berusaha serius untuk mengkaji dasar-dasar hermeneutika, menelusuri akar sejarahnya, sampai penerapannya sebagai pengganti metodologi tafsir dan takwil Al-Qur’an yang khas dalam tradisi keilmuan Islam.
Kajian Fahmy Salim tentang hermeneutika ini semakin membuka cakrawala baru dalam upaya membendung arus besar liberalisasi al-Quran melalui penggunaan hermeneutika dalam studi al-Quran.
 
Seperti beberapa kali kita bahas dalam sejumlah CAP, penggunaan hermeneutika dalam studi al-Quran mulai tampak semakin liar, dengan upaya penggusuran aqidah dan syariat Islam. Ada doctor ilmu Tafsir dari UIN Jakarta yang dalam disertasinya secara terang-terangan menyatakan, bahwa pemeluk agama Yahudi, Kristen, atau Shabiah, bias memperoleh pahala dari Allah, meskipun tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw. Upaya penghalalan perkawinan sesama jenis (homoseksual dan lesbi) pun menggunakan metode hermeneutika.
 
Kaum liberal juga semakin terbuka dalam menyerang al-Quran dan Tafsirnya. Belum lama ini, penerbit Gramedia menerbitkan buku berjudul Metodologi Studi al-Quran karya sejumlah aktivis liberal yang secara terbuka menyerang konsep-konsep dasar al-Quran dan aqidah Islam. Dalam pengantarnya, tokoh liberal,  M. Dawam Rahardjo, menulis:
 
”Ketika turun kepada Nabi, wahyu itu bekerja dalam pemikiran Muhammad sehingga mengalami transformasi dari bahasa Tuhan ke bahasa manusia. Dan ketika wahyu itu disampaikan kepada sahabat, beberapa sahabat mentransformasikannya pula dalam bentuk transkrip yang tunduk kepada hukum-hukum bahasa yang berlaku. Dan kemudian ketika dilakukan kodifikasi, komisi yang dibentuk oleh Khalifah Usman melakukan seleksi dan penyusunan dan pembagian wahyu ke dalam surat-surat menjadi antologi surat-surat. Namun di situ terdapat peranan dan campur tangan manusia dalam pembentukan teks al-Quran seperti kita lihat sekarang. Karena adanya campur tangan manusia, wajar jika terjadi kesalahan dalam proses itu yang mendistorsi wahyu yang semula tersimpan di Lauh Mahfuzh itu. Hal itu bisa dipahami melihat kasus kodifikasi hadits yang mengandung ribuan hadits palsu itu. Apalagi dalam penetapan Mushaf Utsmani, Khalifah memerintahkan untuk membakar sumber-sumber yang menimbulkan masalah yang kontroversial. Namun demikian, siapa tahu di antara berbagai masalah yang sangat kontroversial yang dibakar itu justru sesungguhnya terdapat teks yang benar? Dan sebaliknya juga, siapa tahu bahwa sebagian dari kodifikasi itu terdapat teks yang keliru? Dalam hal ini, Aisyah sendiri mengakui kemungkinan terjadinya kecerobohan pada penulisan teks al-Quran.”  (xviii-xix).
 
Dalam buku ini juga dikatakan, bahwa al-Quran adalah kata-kata Muhammad. Ditulis di sini: “Muhammad bukan sebuah disket, melainkan orang yang cerdas, maka tatkala menerima wahyu, Muhammad ikut aktif memahami dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arabnya sendiri. Karena itu, menurut Nashr Hamid Abu Zaid tidak bertentangan jika dikatakan bahwa al-Quran adalah wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (Muhammadan text).” (hal. 143).
 
Konsep al-Quran kaum liberal seperti itu jelas bertentangan secara mendasar dengan konsep al-Quran menurut kaum Muslim. Bahwa, al-Quran adalah Kalamullah. Jadi, bukan hanya Tafsir al-Quran yang dirusak, konsep dasar al-Quran pun diupayakan untuk dirusak. Dan memang, menurut Dawam Rahardjo, pandangan terhadap konsep al-Quran – apakah Kalamullah atau kata-kata Muhammad – ini, merupakan perbedaan utama antara metode Tafsir klasik dengan metode hermeneutika dalam penafsiran al-Quran.
 
Kata Dawam Rahardjo: “Metode Hermeneutika ini berbeda dengan pendekatan tafsir al-Quran tradisional yang bertolak dari kepercayaan bahwa al-Quran itu adalah kalam ilahi. Dalam pengertian itu, Tuhan tidak dipandang sebagai pengarang, sebagaimana manusia yang mengarang puisi atau prosa. Dalam menafsirkan al-Quran, para penafsir tidak melihat latarbelakang sosial Tuhan yang memengaruhi perkataan Tuhan. Sedangkan dalam hermeneutika, penafsir teks berusaha memahami teks dengan mempelajari pengarangnya, bahkan pembacanya, ketika teks itu diciptakan atau ditafsirkan kemudian.” (hal.xiii).
 
Jadi, menurut Dawam Rahardjo, dalam hermeneutika, otentisitas teks menjadi tidak terlalu penting. Yang penting adalah konteksnya. ”Disinilah perlunya metode hermeneutika, yang mencoba memahami teks berikut dengan mempelajari konteks, sehingga para penafsir bisa menemukan esensi makna suatu ayat yang mungkin saja keliru sebagaimana pernah diwacanakan oleh Mohammad Abduh,.” tulis Dawam Rahardjo. (hal. xix).
 
Kita maklum, sampai kapan saja, upaya untuk merusak Islam dan al-Quran akan selalu dilakukan. Meskipun, mereka mungkin tahu, segala upaya itu akan gagal juga. Buku-buku karya kaum liberal yang secara terbuka menyerang al-Quran semacam ini tentu saja membutuhkan jawaban dengan ilmu pengetahuan yang tinggi. Karena itulah, kita beryukur dengan terbitnya buku Fahmy Salim ini; sebuah buku ilmiah yang serius setebal 538 halaman. Aksi-aksi pendekar al-Azhar memberantas kejahatan ilmu sangat ditunggu-tunggu oleh umat Islam.
 
Kita menunggu aksi piawai pendekar-pendekar al-Azhar lain untuk berkiprah dalam dunia persilatan pemikiran di tanah air; dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar; menegakkan kebenaran dan memerangi kebatilan. [hidayatullah.com]

Comments

Popular posts from this blog

Sikap Positif Bangsa Arab Jahiliyah Sebagai Modal Turunnya Islam di Jazirah Arab

Nasehat Elang Pada Anaknya

Tujuh Tanda Kebahagiaan