Dinasti Safawi dan Konversi Syiah di Iran


Oleh: Alwi Alatas

SETELAH Baghdad ditaklukkan oleh Mongol pada tahun 1258, banyak perubahan penting yang terjadi di kawasan Iran, Iraq, dan sekitarnya.

Dalam proses penaklukkan itu, banyak kaum Muslimin yang terbunuh, terpaksa hijrah ke tempat lain. Kehidupan ekonomi mengalami penurunan, begitu juga dengan aktivitas intelektual dan keagamaan.

Beberapa waktu setelah itu, bangsa Mongol yang menaklukkan wilayah tersebut dan memimpin di bawah Dinasti Ilkhan itu masuk Islam.

Agama ini kembali berkembang di tengah masyarakat. Namun jika pada masa sebelumnya pemerintahan Islam relatif dapat menjaga masyarakat dari berbagai bentuk penyimpangan agama, pada masa setelah invasi Mongol berbagai aliran keagamaan muncul dan berkembang di wilayah ini tanpa pengawalan.

Dinasti Ilkhan sendiri sangat toleran terhadap berbagai aliran keagamaan yang pada gilirannya membantu tumbuh suburnya berbagai kelompok keagamaan di Iran dan sekitarnya (Bosworth et.al., 1995: 766).

Di antara bentuk bentuk keagamaan yang berkembang pada masa itu adalah apa yang disebut oleh sebagian peneliti sebagai sinkretisme Sunni-Syiah. Hal ini banyak tersebar di tengah masyarakat dan merupakan salah satu ekspresi keagamaan yang populer. Bentuk ekspresinya beragam antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Bentuk keyakinan yang populer di masyarakat ini mencakup kepercayaan terhadap kemampuan supranatural, mistisisme Islam, pemujaan terhadap orang suci, dan juga pemujaan terhadap Ali bin Abi Thalib ra. Hal ini sudah ada sejak sebelum invasi Mongol, tetapi sejak pertengahan abad ke-13 pertumbuhannya menjadi semakin pesat. Bentuk keagamaan ini pada umumnya berkembang di tengah kelompok-kelompok sufi (Jackson et.al., 1986: 191 & 194).

Istilah sinkretisme Sunni-Syiah mungkin bukan istilah yang tepat untuk menggambarkan keseluruhan fenomena yang ada dan dapat menimbulkan kesalahpahaman, walaupun hal itu berlaku di sebagian masyarakat Iran ketika itu.

Kepercayaan pada karamah, adanya wali Allah, serta pengagungan terhadap Ali bin Abi Thalib ra. dan ahlul bait Nabi sudah ada sejak masa sebelumnya dalam ajaran tasawuf di kalangan Ahlu Sunnah Wal Jamaah dan masih ada hingga sekarang ini.

Namun pada masa itu tampaknya sebagian kalangan Syiah yang tidak menampakkan identitasnya secara terbuka juga menjadikan tasawwuf sebagai ekspresi keagamaannya. Sehingga orang yang melakukan penelitian tentang keagamaan di Iran dan sekitarnya pada abad ke-13 hingga 15 akan kesulitan untuk membedakan antara Sunni dan Syiah yang berkembang di tengah masyarakat, karena mereka memiliki ciri-ciri yang mirip.

Perbedaan antara Ahlu Sunnah dan Syiah di tengah masyarakat belakangan mengkristal setelah terjadinya konflik serius antara Dinasti Safawi yang Syiah dengan Turki Utsmani yang Sunni.

Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Iran sebelum abad ke-16 kebanyakannya menganut paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah, terlepas dari tingkat ortodoksi keyakinan mereka (Johnson, 1994; Turner, 2000: 50; Jackson et.al., 1986).

Keadaan ini berubah setelah berdirinya Dinasti Safawi pada awal abad ke-16 yang menjadikan Syiah Itsna Asyariyah sebagai keyakinan resmi negara dan memaksakannya di tengah masyarakat.

Selama masa pemerintahan Dinasti Safawi telah terjadi perubahan besar yang membentuk Persia menjadi Syiah (Nasr, 1974: 273), yang pengaruhnya terus terasa hingga saat ini.

Dari Tassawuf ke gerakan politik dan militer

Masa pemerintahan Dinasti Safawi bermula dengan ditaklukkannya kota Tabriz oleh Shah Ismail (w. 1524) dan berakhir dengan jatuhnya kota Isfahan ke tangan Afghanistan pada tahun 1722 (Newman, 2009: 2). 

Namun, eksistensi dan sejarah ‘Dinasti Safawi’ sendiri perlu dirujuk jauh ke belakang untuk memahami latar belakang kemunculannya di pentas politik Iran. Ia berawal dari tarekat sufi yang didirikan oleh Syeikh Safiyuddin Ishaq (1252-1334) sekitar tahun 1300, dua abad sebelum keturunannya mendirikan dinasti politik. Nama tarekat itu sendiri, yaitu tarekat Safawiyah, diambil dari namanya. Syeikh Safiyuddin yang merupakan keturunan Kurdi berasal dari kota Ardabil yang terletak di Barat Laut Iran dan berbatasan dengan Azerbaijan. Kota ini juga menjadi pusat dari tarekat Safawiyah selama dua abad berikutnya.

Selain peranannya sebagai seorang murshid dan guru sufi yang dijunjung tinggi oleh para pengikutnya, Syeikh Safiyuddin juga terlibat dalam aktivitas perdagangan dan politik. Tarekatnya berkembang cukup luas dan para pengikutnya tersebar hingga ke Mesir, Kaukasus, dan Teluk Persia (Jackson et.al., 1986: 190-192). Selepas Syeikh Safiyuddin, kepemimpinan tarekat Safawiyah diteruskan oleh anak cucunya, secara berturut-turut: Sadruddin Musa (w. 1391), Khwaja Ali (w. 1429), Ibrahim, Junayd (w. 1460), Haydar (w. 1488), dan Ismail (w. 1524) yang mendirikan kerajaan Safawi.

Tidak diketahui secara pasti siapa di antara pemimpin tarekat Safawiyah ini yang pertama kali menganut Syiah. Tetapi para peneliti berpendapat bahwa Syeikh Safiyuddin sendiri merupakan seorang Sunni bermadzhab Syafii dan tarekat Safawiyah pada awalnya merupakan sebuah tarekat Sunni. Perubahan signifikan mulai terjadi pada masa kepemimpinan Junayd dan Haydar yang memiliki ambisi politik dan mulai mengubah tarekat yang mereka pimpin menjadi gerakan militer dan politik dengan tendensi Syiah yang cukup menonjol.

Obsesi politik Junayd dan keturunannya menemukan dukungan pada orang-orang Turki Anatolia dan Suriah yang bergabung dengan tarekat Safawiyah. Mereka memiliki keberanian dan loyalitas yang tinggi, yang kelak menjadi tulang punggung militer Safawi. Pemahaman keagamaan mereka bercampur aduk dengan keyakinan-keyakinan menyimpang, termasuk pemahaman Syiah ekstrim yang memuja pemimpin mereka seperti tuhan. Dikatakan bahwa pada masa Junayd, para pengikutnya menyebutnya sebagai ‘tuhan’ dan putranya sebagai ‘anak tuhan’ (Matthee, 2008; Bosworth et.al., 1995: 767). Bagaimanapun, fanatisme yang berlebihan itu ikut berperan dalam membantu para pemimpin Safawi meraih keberhasilan militer dan politik serta menaklukkan bekas-bekas wilayah Dinasti Ilkhan dan Timur Lang yang ketika itu terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan terpisah.

Junayd memulai gerakan itu dengan menghimpun dan melatih para pengikut Turki-nya sebagai tentara. Haydar mengembangkannya lebih jauh dan memberi identitas khas pada para pendukung gerakan ini dengan mengenakan peci merah yang disebut sebagai taj-i haydari (peci Haydar). Peci merah ini diberi tanda berupa dua belas garis yang menandai dua belas Imam Syiah. Orang-orang yang mengenakan peci ini belakangan mendapat julukan qizilbashlar yang bermakna ‘kepala merah’ dan kesatuan militer tempat mereka bernaung menjadi sebuah lembaga dengan nama qizilbash.

Junayd dan Haydar tidak berhasil dalam upaya mereka meraih kekuasaan politik. Keduanya gugur dalam pertempuran. Obsesi politik itu akhirnya berhasil diwujudkan oleh salah seorang putera Haydar yang bernama Ismail. Usia Ismail masih belasan tahun saat ia mengambil alih kepemimpinan tarekat Safawiyah yang kini sudah berubah militan itu.

Belia dan penuh ambisi, dibantu oleh para anggota qizilbash yang radikal, memuja pemimpinnya sebagai inkarnasi tuhan, dan bersedia mati untuknya, Ismail berhasil mencapai apa yang dicita-citakan oleh kakek dan ayahnya. Ia mengalahkan kerajaan-kerajaan yang ada di Iran dan sekitarnya serta mendirikan sebuah kerajaan baru di bawah Dinasti Safawi.

Pada tahun 1499, Ismail dan beberapa pengikutnya keluar dari Lahijan, tempat ia menjalani pengasuhan masa kecilnya, menuju Ardabil dan kemudian Anatolia. Di kota Irzinjan (Anatolia, Turki), ia berhimpun dengan lebih banyak pengikutnya yang tidak aktif sejak kematian ayahnya sekitar satu dekade sebelumnya.
Pada tahun berikutnya, Ismail dan pasukannya berhadapan dengan pasukan Shirvansah, kesultanan Sunni yang berpusat di Shirvan, Azerbaijan, yang dahulu telah mengalahkan ayah dan kakeknya. Kali ini kemenangan ada di pihak Ismail. Pada tahun 1501, Ismail dan pasukannya berhasil mengalahkan pasukan kesultanan Aq Qayunlu dan merebut kota Tabriz yang terletak di Barat Laut Iran dan berdekatan dengan Azerbaijan. Kota Tabriz dahulunya merupakan ibukota kesultanan Ilkhan, belakangan kesultanan Aq Qayunlu dan juga Qara Qayunlu (Newman, 2009: 11).

Penaklukkan Tabriz menandai awal berdirinya kerajaan Safawi. Ismail menjadikan kota ini sebagai ibukota pemerintahannya. Saat menguasai kota itu pada tahun 1501, Ismail mengumumkan Syiah itsna asyariyah sebagai keyakinan resmi pemerintahannya. Para penasihatnya pada awalnya merasa keberatan dengan hal ini karena khawatir dengan reaksi penduduk Tabriz yang mayoritas Sunni. Tapi Ismail tetap kukuh dengan pendiriannya, dan ia berhasil mendesakkan keinginannya (Jackson et.al., 1986: 194). Saat itu dua pertiga penduduk kota Tabriz berpaham ahlus sunnah (Nasr, 1974: 273). Ketika Ismail berusaha mendapatkan kitab Syiah yang menjelaskan prinsip-prinsip dasar Syiah itsna asyari di kota itu, ia hanya berhasil mendapatkan satu buah manuskrip saja di sebuah perpustakaan pribadi yang terpencil. Hal ini menggambarkan masih terbatasnya pengaruh Syiah di Iran pada masa itu. (Turner, 2000: 50).

Sepanjang masa pemerintahannya, Ismail bersikap sangat keras terhadap masyarakat Sunni. 
Pemerintahannya diwarnai oleh pemujaan terhadap Ali dan dua belas imam Syiah serta penistaan terhadap tiga khalifah sebelum Ali ra., yaitu Abu Bakar ra., Umar ra., dan Utsman ra., dan juga upaya untuk menghapuskan ahlus sunnah (Jackson et.al., 1986: 193-4). Sepanjang proses penaklukkan, pasukan qizilbash menebar teror pada penduduk Sunni dan memaksa mereka untuk mengutuk secara terbuka tiga khalifah sebelum Ali ra. (Matthee, 2008). Kebijakan anti-Sunni ini kelak dilanjutkan oleh para penguasa Safawi berikutnya.

Tidak ada sumber yang pasti berkenaan dengan awal pengaruh Syiah pada diri Ismail. Ia tidak pernah dikader oleh ayahnya yang telah gugur saat ia masih kecil. Bahwa ayahnya serta kakeknya merupakan seorang penganut Syiah tulen, dan bukannya hanya sekedar memanfaatkan fanatisisme Syiah pengikutnya untuk kepentingan politik, juga sebenarnya sulit untuk dipastikan oleh sejarah. Ismail kemungkinan banyak menerima ide-ide Syiah saat diasuh di kota Lahijan oleh seorang pembesar bepaham Syiah zaidiyah. Selain itu, kecenderungan pada Syiah serta fanatisisme para pengikut Turkinya mungkin juga banyak mempengaruhi sikap dan pilihan Ismail. Walaupun menetapkan Syiah itsna asyariyah sebagai keyakinan resmi kerajaannya, Ismail sendiri, dan juga para pengikutnya, dalam prakteknya lebih dekat kepada keyakinan Syiah ghulat (ghuluw) yang cenderung menuhankan Ali ra., bahkan menuhankan dirinya sendiri. Dalam kumpulan puisi yang ia buat, ia menempatkan Ali ra. mendahului Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. dan menempatkannya pada level tuhan (Jackson et.al., 1986: 196-8).

Antara tahun 1503 dan 1510, Ismail berhasil menguasai Iran bagian tengah, Khurasan, Azerbaijan, Diyar Bakr di Mesopotamia, hingga Baghdad di Iraq (Newman, 2009: 11-2). Ekspansi Safawi dan penetapan Syiah sebagai ideologi kerajaan pada akhirnya memprovokasi tetangganya yang Sunni, khususnya Turki Utsmani. Kegeraman Turki Utsmani terhadap Safawi terutama disebabkan jaringan pengikutnya di Anatolia, yang menjadi sumber bagi pasukan qizilbash, berpotensi memberontak terhadap Turki Utsmani. Dan ini benar-benar terjadi pada akhir masa pemerintahan Sultan Bayazid II pada tahun 1511. Pemberontakan ini berhasil ditumpas dan pada tahun berikutnya Sultan Bayazid digantikan oleh anaknya, Sultan Salim, yang segera mengambil tindakan keras terhadap pemerintah Safawi (Bosworth et.al., 1995: 767-8).

Pada bulan Agustus tahun 1514, Sultan Salim membawa 200.000 tentara Turki Utsmani, melewati Anatolia dan Azerbaijan, sehingga akhirnya berhadapan dengan pasukan Safawi di Chalderan, Barat Laut Iran. Pasukan Safawi kalah telak dalam pertempuran itu, antara lain disebabkan jumlah pasukan Turki Utsmani yang lebih banyak dan juga karena teknologi persenjataan Turki yang lebih maju. Pasukan Turki Utsmani memasuki Tabriz setelah pertempuran ini, tetapi Sultan Salim tidak berhasil mendesak pasukannya untuk melewati musim dingin di Tabriz serta meneruskan serangan terhadap kerajaan Safawi. Mereka akhirnya meninggalkan tempat itu beberapa hari kemudian. Tabriz pun kembali ke tangan Ismail, tetapi wilayah Erzinjan, Diyar Bakr, dan juga Irak kini berada di bawah kendali Turki Utsmani.

Kekalahan tersebut menjadi pukulan yang hebat terhadap Dinasti Safawi dan Ismail secara pribadi. Sifat ketuhanan Ismail dan keyakinan bahwa ia tak terkalahkan menjadi luntur. Sejak kekalahan itu, Ismail lebih banyak tinggal di pusat pemerintahan dan tidak pernah memimpin pasukannya secara langsung lagi (Bosworth et.al., 1995: 768; Allouche, 1983: 100-1; Jackson et.al., 1986: 224-5).

Dinasti Safawi terus bertahan selepas Ismail. Pemimpin Safawi setelahnya pada umumnya juga menerapkan kebijakan anti-Sunni. Selain itu, kerajaan ini mengundang para theolog Syiah itsna asyari, khususnya dari kawasan Jabal Amil di Libanon, untuk datang ke Iran (Abisaab, 2004), yang menjadikan wilayah ini semakin menyerap keyakinan dan ajaran Syiah Itsna Asyari.

Konversi Iran menjadi Syiah di bawah Dinasti Safawi berlangsung secara gradual, tapi pasti. Para penguasa Safawi terus melakukan tekanan dan pemaksaan terhadap para ulama dan masyarakat Sunni agar mereka mengubah keyakinannya kepada Syiah. Pada awal masa pemerintahan Safawi, ulama Sunni di Iran sebenarnya masih memiliki peranan cukup penting, bahkan mampu mempengaruhi sultan ketiga Dinasti Safawi yang memerintah pada tahun 1576, Ismail II, hingga cenderung kepada Sunni. Tetapi pemerintahan Ismail II tidak berlangsung lama, hanya sekitar empat belas bulan. Ia meninggal dunia secara misterius (Johnson, 1994: 124). Ulama-ulama Sunni yang masih ada pun lama kelamaan berkurang pengaruhnya. Walaupun pada awalnya ada yang diam-diam tetap berpegang pada keyakinan Sunninya, tetapi pada akhirnya ulama yang memegang jabatan di pemerintahan Safawi didominasi oleh kalangan Syiah (Arjomand, 1985: 178-179). Apa yang berlaku pada masa Dinasti Safawi menjadi titik tolak penting terbentuknya masyarakat Iran seperti yang kita dapati pada hari ini.*



Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia

----------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Abisaab, Rula Jurdi. Converting Persia: Religion and Power in the Safavid Empire.  London: I.B. Tauris. 2004.
Allouche, Adel. The Origins and Development of the Ottoman-Safavid Conflict (906-962/ 1500-1555). Berlin: Klaus Schwarz Verlag. 1983.
Arjomand, Said Amir. “The Clerical Estate and the Emergence of a Shi’ite Hierocracy in Safavid Iran: A Study in Historical Sociology” dalam Jurnal of the Economic and Social History of the Orient, vol. 28, No. 2. 1985. Hlm. 169-219.
Bosworth, C.E. et.al. The Encyclopaedia of Islam, vol. 8. Leiden: Brill. 1995.
Jackson, Peter dan Laurence Lockhart. The Cambridge History of Iran, vol. 6, The Timurid and Safavid Period. London: Cambridge University Press. 1986.
Johnson, Rosemary Stanfield. “Sunni Survival in Safavid Iran: Anti-Sunni Activities during the Reighn of Tahmasp I”, dalam Iranian Studies, vol. 27, No. 1/4, Religion and Society in Islamic Iran during the Pre-Modern Era. 1994. Hlm. 123- 133.
Matthee, Rudy. “Safavid Dynasty” dalamhttp://www.iranicaonline.org/articles/safavids. 2008.
Nasr, Hosssein. “Religion in Safavid Persia” dalam Iranian Studies, vol. 7, No. 1/2, Studies on Isfahan: Proceedings of the Isfahan Coloquium, part I. 1974. Hlm. 271-286.
Newman, Andrew J. Safavid Iran: Rebirth of a Persian Empire. London: I.B. Tauris. 2009.
Turner, Colin. Islam without Allah? The Rise of Religious Externalism in Safavid Iran. Richmond: Curzon. 2000.

Comments

Popular posts from this blog

Sikap Positif Bangsa Arab Jahiliyah Sebagai Modal Turunnya Islam di Jazirah Arab

Nasehat Elang Pada Anaknya

Tujuh Tanda Kebahagiaan