Suami Terbaik
Catatan: Saya menulis judul seperti diatas, karena saya
laki-laki lho... buat para ibu-ibu sudilah kiranya membuat tulisan
tentang menjadi istri terbaik
Sabda Nabi saw,
*”Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya.“* (HR.at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, at-Tirmidzi berkata,” Hadits hasan shahih.”)
Seorang bapak (suami), pernah bertanya dalam sebuah dialog interaktif konsultasi keluarga di sebuah situs Islam lokal, tentang bagaimana mendapatkan kasih sayang dan pengabdian istri. Dan yang tidak kalah 'heboh', tidak sedikit pertanyaan yang ujung-ujungnya ingin melakukan poligami dengan berbagai alasan tentunya.
Poligami, jelas diperbolehkan dan dicontohkan oleh Rasul meski pun dalam tradisi dan budaya masyarakat kita, beristri lebih dari satu masih merupakan hal yang dianggap tidak lazim bahkan tabu.
Namun sepertinya, ada hal yang sering terlupakan oleh para suami, sudahkah kita mencontoh Rasulullah dalam urusan romantisme berumahtangga? Sehingga Nabi SAW -karena romantismenya yang luar biasa terhadap para istri beliau- tidak pernah kita mendengar ada masalah yang besar dalam rumah tangga bersama para istrinya.
Menjadi seorang suami memang membutuhkan satu kematangan emosional dan berpikir yang baik. Tentunya, hal itu tidak lepas dari kuantitas dan kualitas ilmu yang dimiliki. Semakin banyak ilmu yang dimiliki oleh seorang lelaki (khusunya ilmu agama dan ilmu kerumah tanggaan), maka Insya Allah akan semakin baiklah ia dalam menjalankan peranannya sebagai seorang suami.
Tanpa disokong dengan kuantitas dan kualitas ilmu yang baik, niscaya kematangan emosional dan cara berpikir tidak akan tercapai dengan baik. Dan tanpa adanya kedua hal tersebut maka rumah tangga akan menjadi lahan empuk bagi sang suami untuk menerapkan kesewenang-wenangannya terhadap seluruh anggota keluarga yang tinggal dirumahnya.
Istri menjadi lahan jajahan yang empuk bagi para suami, hal ini banyak sekali terjadi karena minimnya kadar ilmu seorang suami. Suami senantiasa menuntut untuk dilayani dan dituruti setiap keinginan dan perintahnya. Seolah-olah istri adalah robot yang harus hanya melayani kemauannya semata. Merasa menjadi orang yang paling berjasa dalam rumah tangga karena telah mencari nafkah untuk keluarga, banyak suami yang akhirnya senantiasa “ongkang-ongkang kaki” (baca: sama sekali tidak (ingin) bekerja atau berbuat sesuatu) dalam rumah tangga. Tidak mau sedikitpun membantu pekerjaan yang ada di rumah, terlebih lagi yang memang pada umumnya dikerjakan oleh para wanita. Seolah-olah haram bagi mereka untuk menyentuh atau membantu mengerjakan pekerjaan istrinya di rumah.
Rasulullah Muhammad saw adalah seorang suami teladan bagi seluruh umat manusia. Di luar rumah beliau berperan sebagai seorang panglima perang dan figur dakwah, dan di rumah beliau pun mampu berperan sebagai suami terbaik.
Di dalam rumah tangga, Rasulullah Muhammad saw tidak pernah bersifat meraja yang selalu ingin atau meminta untuk dilayani. Rasulullah Muhammad saw tidak pernah memperbudak istri-istri beliau. Justru beliau sangat sayang dan menghormati istri-istri beliau, mendidik istri-istri beliau dan bersikap seadil-adilnya.
Rasullah Muhammad saw senantiasa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dengan ikhlas. Beliau membantu mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan istri-istrinya. Hebatnya lagi, beliau yang merupakan seorang Rasul Allah swt, tokoh dakwah terkemuka, dan sebagai panglima perang tidak pernah merasa malu atau malas untuk mengerjakan pekerjaan-perkejaan istri beliau (pekerjaan wanita). Beliau suka menjahit pakaian beliau sendiri yang robek. Dan Rasulullah Muhammad saw ketika berada di rumah, beliau juga bekerja membantu memerah susu. Semaksimal mungkin beliau pun bersikap mandiri dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, melayani diri sendiri dan tidak menekan sang istri untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri.
Kalau kita lihat di masa ini, tidak banyak suami yang bersedia untuk mengerjakan pekerjaan wanita atau istri-nya. Mencuci pakaian, mencuci piring, menyeterika, dan lain-lain adalah mutlak menjadi tugas istri. Padahal Rasulullah Muhammad saw tidaklah demikian, beliau berdakwah, berperang, dan juga masih mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga (pekerjaan istri). Rasulullah Muhammad saw tidak pernah mengatakan hal tersebut dan tidak pernah bersikap seperti itu. Istri Rasulullah Muhammad saw senantiasa mengatakan bahwa Rasulullah saw adalah seorang suami yang senantiasa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah yang biasa dilakukan oleh para istri, termasuk melayani kebutuhan beliau sendiri.
Sebagai manusia, kadang-kadang seorang istri hanyut dalam arus kemarahan. Dengan sebab tertentu ia merubah sikap terhadap suaminya. Suami merasakan kemarahan tersebut. Lalu, suami menerima dengan lapang dada. Pandangan yang dalam akan hakekat kejadian wanita membuat suami bertoleransi terhadap istri, bahwa wanita itu dijadikan dari tulang rusuk yang bengkok. Jika sang suami memaksa untuk meluruskannya, maka ia akan patah. Namun jika dibiarkan, maka ia juga akan tetap bengkok. Sebagaimana rasulullah pernah menunjukkan sikap beliau ketika hafsah istri beliu berpaling semalaman dari beliau. Umar memarahi hafsah dengan keras, karena menganggap anaknya (hafsah) berani berpaling dari rasulullah. Umpatan umar tersebut disampaikan kepada Rasulullah. Tapi, rasulullah menanggapinya dengan senyum simpul.
Suami menyemai benih di ladang istri. Benih tumbuh, mekar. Sembilan bulan istri bersusah payah merawat benih hingga lahir tunas yang menggembirakan. Tak berhenti sampai di situ. Istri juga merawat tunas agar tumbuh besar. Kokoh dan kuat. Jika ada yang salah dengan pertumbuhan sang tunas, pastilah istri yang disalahkan. Bila tunas membanggakan lebih dulu suami maju ke depan, mengaku, ?akulah yang membuatnya begitu.? Baik buruknya sang tunas beberapa tahun ke depan tak lepas dari sentuhan tangannya.
Umar hanya mengingat kebaikan-kebaikan istri untuk menutupi segala cela dan kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah ia menasehati, dengan cara yang baik, dengan bercanda. Hingga tak terhindar pertumpahan ludah dan caci maki tak terpuji.
Para suami yang mendambakan kebaikan dalam rumah tangganya perlu mendalami tabiat perempuan secara umum dan tabiat istrinya secara khusus. Jika menemukan ada sesuatu yang dibenci dalam diri istri, demi kebaikan keluarga temukan lebih banyak kebaikan-kebaikannya. Suami juga harus tahu apa perannya dalam rumah tangga. Dan, jangan pernah mencelakan istri dengan kekerasan, baik secara fisik maupun mental. Ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw.,” Apa hak istri terhadap suaminya?” Rasulullah saw. menjawab, “Memberi makan apa yang kamu makan , memberi pakaian apa yang kamu pakai, tidak menampar mukanya, tidak membencinya serta tidak boleh memboikotnya.”
Semoga Allah memberikan petunjuk, hidayah dan pertolongannya dalam upaya kita menjadi suami terbaik bagi istri dan ayah terbaik bagi anak-anak kita. AAmiiin.
Disadur dari berbagai sumber.
Sabda Nabi saw,
*”Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya.“* (HR.at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, at-Tirmidzi berkata,” Hadits hasan shahih.”)
Seorang bapak (suami), pernah bertanya dalam sebuah dialog interaktif konsultasi keluarga di sebuah situs Islam lokal, tentang bagaimana mendapatkan kasih sayang dan pengabdian istri. Dan yang tidak kalah 'heboh', tidak sedikit pertanyaan yang ujung-ujungnya ingin melakukan poligami dengan berbagai alasan tentunya.
Poligami, jelas diperbolehkan dan dicontohkan oleh Rasul meski pun dalam tradisi dan budaya masyarakat kita, beristri lebih dari satu masih merupakan hal yang dianggap tidak lazim bahkan tabu.
Namun sepertinya, ada hal yang sering terlupakan oleh para suami, sudahkah kita mencontoh Rasulullah dalam urusan romantisme berumahtangga? Sehingga Nabi SAW -karena romantismenya yang luar biasa terhadap para istri beliau- tidak pernah kita mendengar ada masalah yang besar dalam rumah tangga bersama para istrinya.
Menjadi seorang suami memang membutuhkan satu kematangan emosional dan berpikir yang baik. Tentunya, hal itu tidak lepas dari kuantitas dan kualitas ilmu yang dimiliki. Semakin banyak ilmu yang dimiliki oleh seorang lelaki (khusunya ilmu agama dan ilmu kerumah tanggaan), maka Insya Allah akan semakin baiklah ia dalam menjalankan peranannya sebagai seorang suami.
Tanpa disokong dengan kuantitas dan kualitas ilmu yang baik, niscaya kematangan emosional dan cara berpikir tidak akan tercapai dengan baik. Dan tanpa adanya kedua hal tersebut maka rumah tangga akan menjadi lahan empuk bagi sang suami untuk menerapkan kesewenang-wenangannya terhadap seluruh anggota keluarga yang tinggal dirumahnya.
Istri menjadi lahan jajahan yang empuk bagi para suami, hal ini banyak sekali terjadi karena minimnya kadar ilmu seorang suami. Suami senantiasa menuntut untuk dilayani dan dituruti setiap keinginan dan perintahnya. Seolah-olah istri adalah robot yang harus hanya melayani kemauannya semata. Merasa menjadi orang yang paling berjasa dalam rumah tangga karena telah mencari nafkah untuk keluarga, banyak suami yang akhirnya senantiasa “ongkang-ongkang kaki” (baca: sama sekali tidak (ingin) bekerja atau berbuat sesuatu) dalam rumah tangga. Tidak mau sedikitpun membantu pekerjaan yang ada di rumah, terlebih lagi yang memang pada umumnya dikerjakan oleh para wanita. Seolah-olah haram bagi mereka untuk menyentuh atau membantu mengerjakan pekerjaan istrinya di rumah.
Rasulullah Muhammad saw adalah seorang suami teladan bagi seluruh umat manusia. Di luar rumah beliau berperan sebagai seorang panglima perang dan figur dakwah, dan di rumah beliau pun mampu berperan sebagai suami terbaik.
Di dalam rumah tangga, Rasulullah Muhammad saw tidak pernah bersifat meraja yang selalu ingin atau meminta untuk dilayani. Rasulullah Muhammad saw tidak pernah memperbudak istri-istri beliau. Justru beliau sangat sayang dan menghormati istri-istri beliau, mendidik istri-istri beliau dan bersikap seadil-adilnya.
Rasullah Muhammad saw senantiasa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dengan ikhlas. Beliau membantu mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan istri-istrinya. Hebatnya lagi, beliau yang merupakan seorang Rasul Allah swt, tokoh dakwah terkemuka, dan sebagai panglima perang tidak pernah merasa malu atau malas untuk mengerjakan pekerjaan-perkejaan istri beliau (pekerjaan wanita). Beliau suka menjahit pakaian beliau sendiri yang robek. Dan Rasulullah Muhammad saw ketika berada di rumah, beliau juga bekerja membantu memerah susu. Semaksimal mungkin beliau pun bersikap mandiri dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, melayani diri sendiri dan tidak menekan sang istri untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri.
Kalau kita lihat di masa ini, tidak banyak suami yang bersedia untuk mengerjakan pekerjaan wanita atau istri-nya. Mencuci pakaian, mencuci piring, menyeterika, dan lain-lain adalah mutlak menjadi tugas istri. Padahal Rasulullah Muhammad saw tidaklah demikian, beliau berdakwah, berperang, dan juga masih mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga (pekerjaan istri). Rasulullah Muhammad saw tidak pernah mengatakan hal tersebut dan tidak pernah bersikap seperti itu. Istri Rasulullah Muhammad saw senantiasa mengatakan bahwa Rasulullah saw adalah seorang suami yang senantiasa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah yang biasa dilakukan oleh para istri, termasuk melayani kebutuhan beliau sendiri.
Sebagai manusia, kadang-kadang seorang istri hanyut dalam arus kemarahan. Dengan sebab tertentu ia merubah sikap terhadap suaminya. Suami merasakan kemarahan tersebut. Lalu, suami menerima dengan lapang dada. Pandangan yang dalam akan hakekat kejadian wanita membuat suami bertoleransi terhadap istri, bahwa wanita itu dijadikan dari tulang rusuk yang bengkok. Jika sang suami memaksa untuk meluruskannya, maka ia akan patah. Namun jika dibiarkan, maka ia juga akan tetap bengkok. Sebagaimana rasulullah pernah menunjukkan sikap beliau ketika hafsah istri beliu berpaling semalaman dari beliau. Umar memarahi hafsah dengan keras, karena menganggap anaknya (hafsah) berani berpaling dari rasulullah. Umpatan umar tersebut disampaikan kepada Rasulullah. Tapi, rasulullah menanggapinya dengan senyum simpul.
Suami menyemai benih di ladang istri. Benih tumbuh, mekar. Sembilan bulan istri bersusah payah merawat benih hingga lahir tunas yang menggembirakan. Tak berhenti sampai di situ. Istri juga merawat tunas agar tumbuh besar. Kokoh dan kuat. Jika ada yang salah dengan pertumbuhan sang tunas, pastilah istri yang disalahkan. Bila tunas membanggakan lebih dulu suami maju ke depan, mengaku, ?akulah yang membuatnya begitu.? Baik buruknya sang tunas beberapa tahun ke depan tak lepas dari sentuhan tangannya.
Umar hanya mengingat kebaikan-kebaikan istri untuk menutupi segala cela dan kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah ia menasehati, dengan cara yang baik, dengan bercanda. Hingga tak terhindar pertumpahan ludah dan caci maki tak terpuji.
Para suami yang mendambakan kebaikan dalam rumah tangganya perlu mendalami tabiat perempuan secara umum dan tabiat istrinya secara khusus. Jika menemukan ada sesuatu yang dibenci dalam diri istri, demi kebaikan keluarga temukan lebih banyak kebaikan-kebaikannya. Suami juga harus tahu apa perannya dalam rumah tangga. Dan, jangan pernah mencelakan istri dengan kekerasan, baik secara fisik maupun mental. Ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw.,” Apa hak istri terhadap suaminya?” Rasulullah saw. menjawab, “Memberi makan apa yang kamu makan , memberi pakaian apa yang kamu pakai, tidak menampar mukanya, tidak membencinya serta tidak boleh memboikotnya.”
Semoga Allah memberikan petunjuk, hidayah dan pertolongannya dalam upaya kita menjadi suami terbaik bagi istri dan ayah terbaik bagi anak-anak kita. AAmiiin.
Disadur dari berbagai sumber.
Comments
Post a Comment