Ah, Kamu Marah Tandanya Cinta
Obrolan santai sehabis olahraga pagi bareng. Kamu masih semangat dan aku sudah membaca koran yang ada di hadapan aku. Membahas soal masa depan jakarta, betapa bijak komentarmu.
“Sudah berdoa?” tanyamu, dan kujawab “Iya, sepanjang hari.” Dan kau pun santun menyambung dengan “Apakah sudah benar adab dan caramu berdoa?” Kujawab dengan senyuman geli. Kamu pun tersenyum sedikit sadis.
Melihat kamu seperti ini menimbulkan kekagumanku pada sosokmu yang semakin hari semakin luar biasa. Bisa dibilang aku sedikit cemburu pada, misalnya laju pertambahan hafalan Qur’an mu yang jauh lebih baik dari aku.
Spontan aku berujar, “Ah, punya satu aja yang kayak kamu rasanya bahagia banget, apalagi …”. Belum sempat aku menyelesaikan, sosokmu sontak berubah dari seseorang yang sejuk anggun menjadi seperti medusa yang siap mengutuk aku dengan tatapanmu. Ah, kuurungkan saja lah meneruskan kalimat yang belum sempat aku tuntaskan. Ah, kupeluk saja dirimu dan berkata, “Punya satu aja yang kayak gini udah cukup kok ….”
Dan aku senang, cemburu kamu adalah bukti cintamu masih besar pada aku, yang kayaknya masih jauh banget dari meneladani Rosul. Itulah juga sebabnya tak berhak lah aku menuntuk kamu seideal Khadijah. Tapi itulah seninya berumah tangga, dengan cinta, pengertian dan saling melengkapi. Bukan kah cemburu itu harus ada dalam dada orang beriman? Dan yang paling penting adalah kamu dan aku punya misi yang padu, membangun keluarga syurgawi di dunia dan akhirat. Aamiiin.
Comments
Post a Comment